JAKARTA. Kasus penggelapan pajak oleh perusahaan Asian Agri Group (AAG) hingga kini belum tuntas. Lama tidak terdengar, kasus ini ternyata masih terus berlanjut di pengadilan pajak, yang mengadili gugatan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh Asian Agri. Seperti diketahui, perusahaan milik pengusaha Sukanto Tanoto ini telah diputus bersalah melakukan tindak pidana perpajakan. Imbasnya, selain harus membayar denda yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung sebesar Rp 2,5 triliun, Asia Agri juga dituntut membayar utang pajak ditambah denda sebesar Rp 1,9 triliun. Ada 108 SKP yang dikeluarkan SJP terhadap 14 perusahaan yang berada di bawah bendera Asian Agri Group. Namun, Asian Agri keberatan dengan SKP yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tersebut. Dan kini, Asian Agri dan DJP harus berhadapan di pengadilan pajak untuk mengadili proses banding yang diajukan. Menurut Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Fuad Rachmani disang perdana atas badnsing Asian Agri sudah dimulai pada tanggal 20 Mei 2014 lalu, di pengadilan pajak, Kementerian Keuangan. Sidang perdana tersebut, baru memeriksa gugatan keberatan yang diajukan salah satu perusahaan Asian Agri Group, yaitu PT Tunggal yunus Estate. Sementara beberapa perusahaan lainnya akan bersidang pada bulan Juni 2014 ini. Fuad berharap publik memantau proses perisadangan banding ini. Sebab, menurutnya, jika DJP sampai kalah, maka Asian Agri bisa lolos dari kewajibannya membayar pajak yang terhutang dalam kurun tahun buku 2002-2005 lalu senilai Rp 1,25 triliun, ditambah denda Rp 653 miliar. “Kita sudah mengeluarkan uraian mengapa banding Asian Agri harus ditolak, dasarnya jelas ada putusan pidana yang sudah incraht (berkekuatan hukum tetap,” ujar Fuad, Kamis (26/6) kemaren. Saat ini, Asian Agri sudah membayarkan sebagian dari kewajiban pajaknya yaitu sebesar Rp 950 triliun. Itupun hanya sebagai syarat, agar perusahaan yang bergerak perkebunan kelapa sawit tersebut bisa mengajukan banding. Jika Asia Agri menang, maka DJP harus mengembalikan duit tersebut. Dalam kesempatan tersebut, Fuad juga memaparkan ada enam majelis hakim yang memeriksa banding Asian Agri. Menurutnya, masyarakat harus mengetahui perkembangan perjalanan pemeriksaan kasus pajak yang terbilang besar ini.Sementara itu, pengamat perpajakan dari Universitas Pelita harapan Ronny Bako mengatakan pengadilan pajak sebetulnya tidak bisa diintervensi oleh siapapun, termasuk DJP. Namun demikian, putusan yang adil harus dikeluarkan, dan masyarakat memegang peranan penting. Jika pemerintah kalah memang tidak ada kerugian tertentu yang diderita pemerintah, tetapi memang potensi penerimaan negara dari pajak sebesar Rp 1,9 triliun akan hilang, dan pemerintah harus mengembalikan uang denda yang sudah dibayar Asian Agri.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Pajak minta publik ikut memantau kasus Asian Agri
JAKARTA. Kasus penggelapan pajak oleh perusahaan Asian Agri Group (AAG) hingga kini belum tuntas. Lama tidak terdengar, kasus ini ternyata masih terus berlanjut di pengadilan pajak, yang mengadili gugatan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh Asian Agri. Seperti diketahui, perusahaan milik pengusaha Sukanto Tanoto ini telah diputus bersalah melakukan tindak pidana perpajakan. Imbasnya, selain harus membayar denda yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung sebesar Rp 2,5 triliun, Asia Agri juga dituntut membayar utang pajak ditambah denda sebesar Rp 1,9 triliun. Ada 108 SKP yang dikeluarkan SJP terhadap 14 perusahaan yang berada di bawah bendera Asian Agri Group. Namun, Asian Agri keberatan dengan SKP yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tersebut. Dan kini, Asian Agri dan DJP harus berhadapan di pengadilan pajak untuk mengadili proses banding yang diajukan. Menurut Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Fuad Rachmani disang perdana atas badnsing Asian Agri sudah dimulai pada tanggal 20 Mei 2014 lalu, di pengadilan pajak, Kementerian Keuangan. Sidang perdana tersebut, baru memeriksa gugatan keberatan yang diajukan salah satu perusahaan Asian Agri Group, yaitu PT Tunggal yunus Estate. Sementara beberapa perusahaan lainnya akan bersidang pada bulan Juni 2014 ini. Fuad berharap publik memantau proses perisadangan banding ini. Sebab, menurutnya, jika DJP sampai kalah, maka Asian Agri bisa lolos dari kewajibannya membayar pajak yang terhutang dalam kurun tahun buku 2002-2005 lalu senilai Rp 1,25 triliun, ditambah denda Rp 653 miliar. “Kita sudah mengeluarkan uraian mengapa banding Asian Agri harus ditolak, dasarnya jelas ada putusan pidana yang sudah incraht (berkekuatan hukum tetap,” ujar Fuad, Kamis (26/6) kemaren. Saat ini, Asian Agri sudah membayarkan sebagian dari kewajiban pajaknya yaitu sebesar Rp 950 triliun. Itupun hanya sebagai syarat, agar perusahaan yang bergerak perkebunan kelapa sawit tersebut bisa mengajukan banding. Jika Asia Agri menang, maka DJP harus mengembalikan duit tersebut. Dalam kesempatan tersebut, Fuad juga memaparkan ada enam majelis hakim yang memeriksa banding Asian Agri. Menurutnya, masyarakat harus mengetahui perkembangan perjalanan pemeriksaan kasus pajak yang terbilang besar ini.Sementara itu, pengamat perpajakan dari Universitas Pelita harapan Ronny Bako mengatakan pengadilan pajak sebetulnya tidak bisa diintervensi oleh siapapun, termasuk DJP. Namun demikian, putusan yang adil harus dikeluarkan, dan masyarakat memegang peranan penting. Jika pemerintah kalah memang tidak ada kerugian tertentu yang diderita pemerintah, tetapi memang potensi penerimaan negara dari pajak sebesar Rp 1,9 triliun akan hilang, dan pemerintah harus mengembalikan uang denda yang sudah dibayar Asian Agri.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News