Pajak penghasilan UKM diperketat



JAKARTA. Pemerintah akan memperketat ketentuan Pajak Penghasilan (PPh) final dari pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM). Rencana ini dilakukan untuk menutup celah penyalahgunaan dan penghindaran pajak yang dilakukan oleh para pengusaha yang seharusnya membayar pajak bertarif reguler.

Peraturan pajak final untuk UKM sebenarnya telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Dalam beleid itu diatur, pemungutan pajak final dilakukan terhadap pelaku usaha yang telah menjadi wajib pajak pribadi maupun badan dengan omzet usaha tidak lebih dari Rp 4,8 miliar setiap tahun. Adapun besaran pungutan pajaknya sebesar 1% dari omzet per tahun.


Namun pemerintah akan merevisi peraturan tersebut. Di dalam revisi tersebut, pemerintah akan mempertegas pemungutan pajak dari pelaku UKM. Beberapa ketentuan baru pajak UKM antara lain, pertama, pajak UKM hanya berlaku bagi pelaku UKM yang baru memulai usahanya. 

Selain itu, Ditjen Pajak hanya akan memberikan fasilitas pajak UKM ini hanya bagi UKM yang masih berdiri dalam bentuk perorangan atau belum berbadan hukum. Dengan kata lain, pelaku UKM yang telah lama berdiri dan telah berbadan hukum, meski omzetnya sebesar Rp 4,8 miliar per tahun, harus membayar pajak sebagai perusahaan biasa dengan tarif PPh 25%.

Kedua, selain untuk UKM yang baru berdiri, pemungutan pajak final sebesar 1% dari omzet hanya berlaku selama tiga tahun. Setelah tiga tahun, pelaku UKM harus membayar pajak berdasarkan tarif reguler, yakni 25%. "Ini baru usulan dan akan diperbaiki," kata Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) Sigit Priadi Pramudito, Kamis (19/3).

Dirjen Pajak belum bisa memastikan, kapan revisi dari beleid PP 46/2013 itu akan rampung. Yang jelas, Ditjen Pajak akan melakukan pengawasan lebih ketat terkait pelaksanaan aturan yang baru nantinya. Misalnya, melakukan penelusuran penghasilan pelaku UKM dari data pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) wajib pajak yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah (Pemda).

Sebelumnya, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, banyak para pengusaha memanfaatkan pajak UKM ini untuk membayar pajak lebih rendah.  Sebelum ada ketentuan pajak UKM, para pengusaha itu membayar PPh perusahaan dengan tarif normal.

Pasalnya, di dalam peraturan saat ini tidak ada larangan bagi perusahaan yang telah membayar PPh perusahaan dengan tarif normal untuk beralih ke pajak UKM. Kini di dalam revisi yang baru ini, Ditjen Pajak akan melarang wajib pajak yang telah membayarkan pajak dengan tarif reguler memakai skema pembayaran pajak 1% dari omzet.       

Potensi besar

Catatan lain, setelah PP dikeluarkan pada pertengahan 2013 lalu, Ditjen Pajak menilai hingga kini masih banyak pengusaha UKM yang tetap tak bayar pajak. Apalagi, peraturan tersebut tak mengatur sanksi bagi para pelanggar. Namun Sigit enggan menyebutkan sanksi yang akan diberikan bagi UKM yang tetap tak membayar pajak.

Sigit juga enggan menyebutkan berapa banyak perusahaan yang memanfaatkan skema Pajak UKM dan potensi penerimaan yang hilang gara-gara pengusaha memanfaatkan pajak UKM untuk menurunkan pembayaran pajak.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, PP 46/2013 tentang pajak UKM memang perlu direvisi. Soalnya, beleid itu menimbulkan distorsi lantaran tak mendefinisikan sasaran calon kena pajak yang sesuai dengan undang-undang UKM.

Padahal Undang-Undang  UKM menyebutkan, definisi UKM juga berdasarkan aset dan afiliasi, tak cuma omzet. Potensi penerimaan pajak UKM sebenarnya bisa mencapai Rp 10 triliun per tahun. Tapi realisasinya kini hanya Rp 2 triliun per tahun.          

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie