JAKARTA. Tekanan terhadap emiten properti bakal bertambah pada tahun ini. Belum hilang efek pelemahan daya beli, kini pemain properti akan menghadapi rencana kenaikan tarif pajak properti yang menganggur, termasuk unit apartemen yang tidak disewakan. Rencana tersebut diyakini akan menjadi sentimen negatif bagi sektor properti. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementrian ATR) mengusulkan tiga pajak di sektor pertanahan.
Pertama, mengenakan pajak progresif kepemilikan lahan kedua dan seterusnya, atau setiap tambahan lahan hingga batas tertentu.
Kedua, pajak aset menganggur atau
unutilized asset tax. Usulan Kementerian ATR, pajak progresif dikenakan pada lahan yang tak dimanfaatkan sesuai peruntukan, apartemen kosong yang tak disewakan/ditempati, serta apartemen yang tidak laku terjual.
Ketiga, pengenaan
capital gain tax yakni pajak selisih harga beli dengan harga jual. Ini artinya,
capital gain yang Anda dapat dalam penjualan properti akan kena pajak. Analis NH Korindo Sekuritas Bima Setiaji menilai, dalam jangka pendek wacana ini menjadi sentimen negatif bagi emiten properti dan penjualan apartemen. "Soalnya penentuan apartemen yang termasuk kategori kosong bukan merupakan hal simpel," ungkap dia kepada KONTAN, Minggu (9/4). Aturan pengenaan pajak tinggi terhadap apartemen kosong akan memberatkan segmen kelas menengah ke atas. Sebab, kelas ini banyak menjadikan apartemen sebagai instrumen investasi dan tidak ditinggali. Berbeda dengan masyarakat kelas menengah ke bawah yang membeli apartemen untuk ditinggali. Jadi, kebijakan ini akan menurunkan minat investasi di sektor properti. Emiten yang bakal terkena imbasnya adalah mereka yang menyasar segmen menengah atas, juga emiten yang punya proyek
high rise building, seperti APLN, DILD, PWON. Meski demikian, bisnis properti tetap bisa tumbuh lantaran kebutuhan masih tinggi. Ke depan, tren suplai properti ada di segmen apartemen dan rumah tapak untuk kelas menengah ke bawah. "Oleh karena itu, emiten properti seperti PPRO, MTLA, CTRA dan BSDE, yang mulai masuk kelas menengah sangat menarik dan layak masuk
stockpick," papar Bima.
Analis Binaartha Parama Sekuritas Reza Priyambada berpendapat, kebijakan pajak tinggi atas properti menganggur begitu dilematis. Sejatinya, pengembang harus menyiapkan lahan demi kelangsungan kinerja, dengan mengamankan lahan yang sudah dibeli untuk dibangun sesuai permintaan. Di sisi lain, proyek properti tak bisa langsung jadi begitu ada permintaan. Oleh karena itu, pengembang menyediakan tanah dan menyebabkan banyak lahan menganggur. "
Developer tidak jor-joran membangun sehingga banyak lahan nganggur," ungkap dia. Menurut Reza, seharusnya pemerintah membantu meningkatkan permintaan properti terlebih dulu, baru mengenakan pajak tinggi. Sebab, jika permintaan properti tinggi, maka harga jual ikut naik. Jika terkena pajak tinggi, hal itu masih wajar. Saat ini, ketika permintaan properti melemah, pajak malah akan naik tinggi. Hal ini akan menekan emiten properti.
Emiten properti yang bakal terpengaruh rencana pemerintah adalah mereka yang memiliki lahan luas seperti BSDE, SMRA, MDLN dan MYRX. Kepala Riset Koneksi Capital Alfred Nainggolan menyebutkan, aturan ini masih belum jelas apakah menyasar perusahaan pengembang properti. "Jika saya lihat, substansinya aturan ini untuk pribadi yang mencari penghasilan di bisnis properti," ungkap dia. Jika aturan itu berlaku untuk pengembang properti, maka akan berdampak besar. Alfred menilai, sampai kini fundamental sektor properti belum bagus. Dia belum merekomendasi sektor properti karena masih menunggu kinerja semester pertama. Alfred juga menunggu kebijakan bunga perbankan. Sebab, sektor ini masih tergantung pembiayaan perbankan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto