KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Siap-siap menghadapi kenaikan harga barang pada tahun depan. Pasalnya, pemerintah telah menetapkan kebijakan penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan meningkat dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025. Kebijakan ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Head Customer Literation and Education Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi berpandangan kenaikan PPN menjadi 12% ini menjadi dilema untuk pasar di tengah ketidakpastian ekonomi global dan masih tingginya suku bunga acuan bank sentral.
Baca Juga: PPN 12% Resmi Berlaku Tahun Depan, Cermati Efeknya ke Saham Konsumer Audi menerangkan berdasarkan data Kementerian Keuangan, kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% sebelumnya terbukti berhasil mendorong penerimaan negara. Pada tahun 2023 misalnya, penerimaan dari PPN melonjak 22,1%
year on year (YoY) dan menjadi kontributor terbesar terhadap total penerimaan pajak. Kenaikan ini memang berpotensi memperkuat stabilitas ekonomi domestik dan meningkatkan rasio pajak. Namun, di sisi lain, kebijakan tersebut berisiko menambah tekanan pada daya beli masyarakat yang sudah rentan.
Efek Negatif ke Emiten Audi memperkirakan kenaikan PPN menjadi 12% ini berdampak negatif terhadap pertumbuhan emiten konsumer dan ritel, khususnya barang
non cyclical karena beban dari kenaikan PPN akan meningkatkan beban emiten. Untuk mengurangi tekanan pada beban, emiten akan mengenakan kenaikan PPN tersebut kepada konsumen melalui kenaikan harga jual barang. Meski demikian, hal ini justru akan menjadi tantangan penjualan ke depannya, karena di satu sisi konsumen akan menjadi lebih selektif dalam pemilihan barang. "Selain itu, kekhawatiran akan efisiensi dan ekspansi yang dapat terganggu akan menjadi spekulasi negatif di pasar, terlebih saat ini juga tren indeks keyakinan konsumen yang terus menurun dalam beberapa bulan terakhir," kata Audi kepada Kontan, Sabtu (16/11).
Baca Juga: Rupiah Diproyeksi Masih Tertekan Dolar AS di Perdagangan Senin (18/11) Audi menyarankan agar para investor tetap mencermati kinerja keuangan emiten, kondisi ekonomi makro dan dinamika kebijakan suku bunga yang akan mempengaruhi sektor konsumer dan ritel.
Director PT Reliance Sekuritas Indonesia Tbk (RELI), Reza Priyambada melihat efek kenaikan PPN jadi 12% bisa dilihat dari sisi konsumen. Pasalnya, konsumen paling merasakan dampaknya di mana mereka membeli barang dengan harga yang lebih mahal dibandingkan sebelumnya. "Emiten konsumer kemungkinan akan melakukan penyesuaian harga barangnya," ujar Reza kepada Kontan, Minggu (17/11). Nah, seberapa besar penyesuaian harga barang tentunya ini akan menjadi perhatian manajemen agar daya beli masyarakat dapat tetap terjaga. Dirinya menyimpulkan bahwa emiten consumer akan menghadapi fluktuasi harga bahan baku dan memperhatikan kemampuan daya beli masyarakat. "kalau untuk dampak, ya semua emiten pastinya akan terkena kan. Karena PPN itu berlaku untuk semua barang, tidak ada spesifik ke barang tertentu dan emiten tertentu saja," terangnya. Untuk menjaga margin keuntungan bisa saja para emiten konsumer melakukan promosi
bundling dengan barang lainnya atau mengurangi takaran. Cara lainnya bisa juga membuat produk yang sama namun dengan ukuran yang lebih kecil dan dilakukan promo semisal ambil 2 gratis 1 atau promo lainnya sehingga barang konsumer tersebut tetap dapat diserap konsumen.
Baca Juga: IHSG Berpeluang Rebound Teknikal pada Senin (18/11), Saham Apa yang Bisa Dicermati? Lebih lanjut, Reza menyarankan agar para investor tak perlu panik melihat sentimen tersebut. Yang terpenting, investor perlu mencermati strategi para emiten dalam menyikapi kenaikan PPN 12%, serta melihat dampaknya pada rilis kinerja laporan keuangannya nanti. Reza merekomendasikan untuk mencermati saham konsumer antara lain, ICBP, MYOR, CMRY, KLBF, CLEO, GOOD.
Sementara itu, Audi merekomendasikan untuk
buy saham ICBP dan MYOR dengan target harga masing-masing Rp 14.000 dan Rp 980 per saham. Ia juga merekomendasikan untuk
trading buy saham MYOR pada target harga Rp 2.880 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .