Pakai kapal pemandu, Cilamaya dinilai tak efektif



JAKARTA. Rencana pembangunan palabuhan masih menuai pro dan kontra. Meskipun pelabuhan tersebut nantinya akan terbangun, namun operasionalnya dinilai tidak akan optimal dan berpotensi sepi dari lalu lintas pelayaran. Seperti di ketahui, di areal pelabuhan Cilamaya tersebut terdapat ladang minyak dan gas dari Blok Offshore North West Java (ONWJ) milik PT Pertamina. Di sekitar blok tersebut banyak sekali pipa minyak dan gas di pantai utara Karawang. Panjang pipa-pipa tersebut mencapai 1.700 kilometer (km). Dari blok tersebut, gas dialirkan ke PLTGU Muara Karang dan Tanjung Priok yang mengaliri listrik daerah ring satu Jakarta dan pabrik pupuk Kujang di Jawa Barat. Blok ini merupakan aset penting bagi Indonesia. Pasalnya, produksi minyak mentah di wilayah ini menyumbang sekitar 5% dari total produksi nasional, dan menyumbang pendapatan sekitar Rp 21 triliun per tahun. Direktur Pelabuhan dan Pengerukan Kementerian Perhubungan (Kemhub) Adolf R Tambunan mengatakan, salah satu yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk menghindari resiko dari keberadaan pipa-pipa minyak dan gas milik Pertamina tersebut maka untuk kapal yang akan bersandar akan dipandu. Dengan adanya kapal pemandu tersebut, maka resiko dari kapal menabrak pipa-pipa minyak dan gas dibawah laut dapat dihindari. "Dapat diminimalisir, dengan cara dipandu (kapal)," kata Adolf, belum lama ini. Pembangunan tersebut juga berdasarkan studi yang telah dilakukan. Pergeseran sejauh 3 km ke arah barat tersebut juga menjadi solusi. Untuk Analisis dampak lingkungan (AMDAL), Adolf bilang saat ini sedang dalam tahap finalisasi. Vice President Corporate Communications PT Pertamina, Ali Mundakir mengatakan, dengan adanya getaran-getaran di tanah sekitar ladang minyak dan gas tentu sangat membahayakan. Apalagi pipa tersebut saling keterhubungan. Pemindahan pelabuhan sejauh 3 km juga tidak terlalu berpangaruh. Pasalnya jarak tersebut dinilai terlalu sempit. Disamping itu, adanya kapal pemandu untuk meminimalisir potensi tertabraknya pipa minyak dan gas juga dinilai tidak membuat optimal dari operasional pelabuhan. "Kapal yang masuk dipandu satu-satu, ini menjadi tidak efisien," kata Ali. Bila dirasa tidak efisien, maka kapal yang masuk akan berkurang. Walhasil pelabuhan menjadi mangkrak karena sepi pelayaran. Padahal pada tahun 2023 mendatang merupakan waktu puncak untuk produksi minyak di daerah tersebut. Ali bilang bila saat ini produksi minyak di ONWJ dikisaran 40.000 barel minyak per hari (BOPD). Maka pada tahun 2023 mendatang produksinya akan meningkat menjadi 50.000 BOPD. "Tahun 2013 malah peak production. Apakah mau stop," ujar Ali.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Hendra Gunawan