KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset Tindak Pidana hingga kini masih masih menggantung di DPR. Padahal pemerintah jauh-jauh hari telah mengirim surpres sejak 4 Mei 2023 lalu. Direktur Program Keadilan, Demokrasi dan Tata Pemerintahan Kemitraan, Rifqi Assegaf, menilai, RUU Perampasan Aset memiliki urgensi serius, terutama dalam memudahkan proses perampasan aset yang diduga berasal dari kejahatan dalam kondisi-kondisi seperti pelaku meninggal dunia, melarikan diri, dan sebagainya. “Sangat disayangkan bawah DPR belum kunjung memproses RUU tersebut, meski ini tidak mengejutkan. RUU (Perampasan Aset) ini penting,” kata Rifqi kepada Kontan.co.id, Minggu (29/10).
Baca Juga: Tidak Kunjung Dibahas DPR, ICW dan PPATK Ungkap Urgensi RUU Perampasan Aset Selain memudahkan perampasan aset, Rifqi melihat, urgensi lainnya dalam RUU Perampasan Aset yakni terkait
unexplained wealth atau
illicit enrichment. Artinya, kemungkinan merampas aset “setiap orang” yang memiliki aset dengan sumber tidak wajar. Rifqi menjelaskan, aturan tersebut akan memudahkan aparat penegak hukum untuk merampas aset yang diduga berasal dari kejahatan, walau belum memiliki bukti yang kuat. Namun, dugaan kuat tersebut didukung fakta bahwa pelaku tidak dapat menjelaskan sumber dari kekayaan yang dimilikinya. Kendati demikian, Rifqi menilai pengaturan dalam RUU Perampasan Aset masih memiliki kelemahan. Misalnya, regulasi ini bisa menyasar “setiap orang” dan prosesnya dilakukan setiap penegak hukum. Di sebagian negara, untuk meminimalisir penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum, regulasi serupa hanya dapat diterapkan kepada penyelenggara negara (bukan semua orang) dan yang menegakkannya bukan setiap penegak hukum.
Baca Juga: Parlemen Tak Kunjung Membahas RUU Perampasan Aset, Ada Apa? “Misalnya hanya lembaga khusus semacam KPK. Ini penting karena kondisi penegak hukum kita masih belum baik,” jelas Rifqi. Selain itu, sebenarnya beberapa UU yang ada telah memungkinkan aparat melakukan perampasan aset sebagaimana yang diatur dalam RUU Perampasan Aset. UU tersebut misalnya berkaitan dengan kejahatan terkait korupsi, narkoba, atau kehutanan, termasuk juga mengatur persoalan illicit enrichment (meski terbatas bagi terdakwa melakukan korupsi, namun masih memiliki kekayaan lain yang diduga tidak wajar). Masalahnya, penerapan regulasi yang sudah ada itu menurut Rifqi masih jauh dari optimal. Karenanya, tanpa kesungguhan dari penegak hukum, Rifqi memperkirakan RUU Perampasan Aset belum tentu memberi perubahan yang signifikan walau nanti disahkan. Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menjelaskan hal senada, sebenarnya telah ada mekanisme yang diatur baik dalam sistem peradilan pidana maupun perdata terkait perampasan aset.
Baca Juga: Surpres Sudah Masuk Sejak Mei, DPR Belum Juga Bahas RUU Perampasan Aset Dalam konteks Pidana aset, yang telah dinyatakan berkaitan dengan perkara pidana (diperoleh, digunakan sebagai alat atau bahkan tujuan tindak pidana) aset dapat disita dan dirampas untuk negara, demikian juga mekanisme perdata dengan merampas dan mengeksekusi perdata oleh pengadilan. Kendati demikian, Abdul mengungkap mekanisme aturan dalam RUU Perampasan Aset bisa membuat proses hukum menjadi lebih efisien. Karena pada dasarnya, aset yang menjadi objek juga merupakan aset yang berkaitan dengan perkara. “Jadi sudah seharusnya mekanisme perampasan aset bisa lebih efisien dan lebih efektif, dari mekanisme eksekusi perkara pidana yang ada,” imbuh Abdul. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli