KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pakar Hukum pidana, Ibnu Mazjah, menilai operasi tangkap tangan (OTT) terhadap dua orang jaksa pada Kejaksaan Agung yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan tindak pidana berbasis pada kesalahan pribadi. Menurut dia, pihak Kejaksaan Agung harus melakukan introspeksi atas penangkapan terhadap oknum jaksa. Apalagi penangkapan, kata dia, dilakukan di tengah momentum pemerintah menerapkan program Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bebas Melayani (WBBM). "Kasus tersebut tidak berkorelasi dengan upaya dan spirit institusi yang tengah sibuk berbenah memperbaiki diri dalam hal memerangi budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)," kata dia, Senin (1/7).
Dia meminta, kepada KPK agar tidak ragu mengusut dugaan keterlibatan pihak lain di institusi Kejaksaan apabila menemukan indikasi tindak pidana. Sehingga, kata dia, penegakan hukum terhadap kasus ini berjalan secara adil. "Dengan terciptanya
good governance, diharapkan pula tumbuh kesadaran dan sikap mental yang baik dari masing-masing individu insan adhyaksa," tambahnya. Sebelumnya, seorang pengusaha bernama Sendy Perico (SPE) akhirnya menyerahkan diri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Minggu (30/6) sore. Sendy Perico menyerahkan diri karena sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dan buron dalam kasus suap penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Barat tahun 2019. Pihak penyuap adalah Sendy Perico dan kuasa hukumnya Alvin Suherman. Sementara pihak penerima adalah Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Agus Winoto. Sehari sebelumnya, Sabtu (29/6) KPK telah menahan Agus Winoto selama 20 hari ke depan di Rutan K4, Gedung Merah Putih KPK. Agus Winoto ditahan setelah terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan ditetapkan sebagai tersangka suap penanganan perkara di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat tahun 2019. Selain Agus, KPK juga menahan Alvin Suherman, pengacara yang mewakili Sendy Perico, untuk menyuap Agus. Alvin Suherman juga mendekam selama 20 hari di rutan C1, gedung lama KPK. Dalam perkara ini, Sendy dan Alvin sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sementara itu, Agus sebagai pihak penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kasus ini bermula saat Sendy Perico melaporkan pihak lain yang menipu dan melarikan uang investasinya Rp 11 miliar. Sebelum tuntutan dibacakan, Sendy dan pengacaranya Alvin telah menyiapkan uang untuk jaksa penuntut umum, diduga untuk memperberat tuntutan pihak yang menipu Seny Perico. Saat proses persidangan berlangsung, Sendy dan pihak yang ia tuntut memutuskan untuk berdamai. Setelah proses berdamai selesai, pada 22 Mei 2019, pihak yang Sendy tuntut meminta padanya agar tuntutannya hanya satu tahun. Alvin lalu melakukan pendekatan pada Jaksa Penuntut Umum melalui seorang perantara. Perantara ini menginformasikan ke Alvin rencana tuntutan selama dua tahun. Alvin kemudian diminta menyiapkan uang Rp 200 juta dan dokumen perdamaian jika ingin tuntutannya berkurang menjadi satu tahun.
Sendy dan Alvin menyanggupi dan berjanji menyerahkan uang serta dokumen perdamaian pada 28 Juni 2019. Ini karena tuntutan dibacakan pada 1 Juli 2019. Akhirnya KPK melakukan OTT pada lima orang, dan tiga diantaranya ditetapkan sebagai tersangka. Dari operasi senyap ini, lembaga antirasuah turut mengamankan uang Rp 200 juta dari ruang kerja Agus Winoto. (Glery Lazuardi) Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul
"Kasus OTT Jaksa, Momentum Pembersihan Institusi Kejaksaan" Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .