KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pakar Hukum Bisnis Universitas Airlangga, Budi Kagramanto mewanti-wanti pelaku usaha, terutama emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) agar meyampaikan laporan kinerja tahunan secara benar jika tidak ingin berurusan dengan hukum. Pasalnya, praktik mempercantik laporan keuangan di pengujung tahun atau biasa disebut window dressing kerap merugikan investor. Ia mencontohkan kasus laporan keuangan keuangan PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) tahun 2017 yang saat ini tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Menurut Budi, manipulasi laporan keuangan yang dilakukan oleh manajemen lama AISA, merupakan tindak pidana yang merugikan banyak pihak. Pertama adalah investor yang berinvestasi di saham AISA, lalu yang kedua perusahaan itu sendiri. Dan, yang ketiga citra industri pasar modal menjadi tercoreng. “Kalau setiap perusahaan melakukan hal seperti itu bisa kacau. Sudah tepat Jaksa Penuntut Umum menggunakan UU Pasar Modal kepada terdakwa, ada ketentuan pidana disitu. Pertanggung jawabannya bisa sampai kekayaan pribadi,” kata Budi dalam keterangan resminya, Senin (4/1). Hal senada diungkapkan pengamat pasar modal, Adler Haymans Manurung. Menurutnya, rekayasa laporan keuangan dalam akuntansi disebut Smoothing the Income. Bila ada emiten yang melakukan rekayasa, kata dia, kemungkinan besar emiten tersebut merasa bisa melakukannya dan merasa dapat lolos dari pengawasan. Oleh karena itu, kata Adler, agar kejadian serupa tidak terulang, OJK perlu membuat divisi khusus yang mengawasi hal-hal seperti ini. “Melihat kecurangan emiten, merupakan salah satu bagian dari perlindungan investor,” katanya. Dalam kasus AISA yang dilakukan oleh mantan direksi, lanjut Adler, merupakan tindak pidana yang dapat dijerat dengan UU Pasar modal. Namun hukuman berupa penjara dan denda Rp 15 miliar dalam UU Pasar Modal menurutnya masih dirasa kurang. “Pelakunya juga harus di blacklist, tidak bisa jadi direksi perusahaan tbk, termasuk anak perusahaannya,” tegas Adler.
Tindak tegas
Pelaku pasar berharap OJK sebagai ujung pertahanan ketidakberesan yang dilakukan emiten, dapat melakukan tindakan tegas kepada pihak-pihak yang merugikan investor dan merusak citra pasar modal. “Jadi tidak hanya menunggu laporan dari investor yang dirugikan, harus bisa jemput bola,” pungkas Adler. Seperti diketahui, manajemen lama AISA, yakni Joko Mogoginta mantan Presiden Direktur PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) dan Budhi Istanto Suwito mantan Direktur AISA, tengah didakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan lantaran diduga melakukan penggelembungan (overstatement) piutang anak usaha ke AISA dalam laporan keuangan tahun 2017. Imbasnya, laporan keuangan konsolidasi AISA tampak menarik. Cantiknya laporan keuangan tersebut membuat investor di pasar modal membeli saham AISA. Harga saham AISA pun sempat melesat hingga Rp 2.360 per saham pada tahun 2017. Namun kinerja tersebut hanya diatas kertas. Sebab, fundamental AISA saat itu bertolak belakang dengan laporan keuangan.
Kejanggalan mulai terendus ketika AISA gagal bayar kewajiban bunga Obligasi dan Sukuk. Saat RUPS Tahunan, para pemegang saham pun meradang. Laporan Tahunan sebagai bentuk pertanggungjawaban Direksi ditolak. Joko Mogoginta dan Budhi Istanto lantas diberhentikan oleh para pemegang saham. Pemegang saham yang merupakan investor retail pun menuntut keadilan pada hukum atas tindakan dua kakak beradik ini sampai perkara berujung ke pengadilan. Saat ini, sidang mengenai kasus AISA masih terus berlangsung. Sejatinya sidang pemanggilan saksi-saksi mantan direksi AISA dilakukan pada Rabu (16/12/2020), namun sidang ditunda dan rencananya akan dilakukan pada 6 Januari 2021.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dikky Setiawan