Pakar hukum sebut omnibus law hanya buang-buang waktu dan biaya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pakar Hukum Tata Negara Abdul Fickar Hadjar menyebutkan, omnibus law cipta kerja hanya akan membuang waktu jika nantinya tidak ada sistem yang berubah signifikan.

Fickar menjelaskan bahwa masalah yang saat ini ada ialah pada koordinasi dan pengawasan dari sistem yang sudah ada.

"Padahal sesungguhnya masalah ada pada, koordinasi dan pengawasan. Karena itu jika tidak ada sistem yang berubah signifikan, maka omnibus law hanya akan menjadi kompilasi aturan saja dan ini buang-buang waktu dan biaya," tutur Fickar saat dihubungi Kontan.co.id pada Minggu (27/9).


Baca Juga: Ini tujuh poin perubahan UU Ketenagakerjaan dalam Omnibus Law

Ia menambahkan sejak awal memandang bahwa cara penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang terkesan dikebut dan digabung kurang pas.

"Saya tidak setuju dengan cara penyusunan yang digabung dan dikebut itu, jika tujuannya mensinkronkan dan memendekan birokrasi maka sebenarnya tidak perlu membuat aturan baru, apalagi tidak ada yang berubah," imbuhnya.

Lebih lanjut disampaikan bahwa pemerintah cukup mengefektifkan pengawasan dan koordinasi dari sistem saat ini.

"Persoalan lebih pada manusianya bukan sistemnya. Jadi ini bukti kelemahan sumber daya manusia (SDM) di pemerintahan bukan pada sistemnya, asal ada proyek saja merubah-ubah aturan," tegasnya.

Sebelumnya, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja sudah nyaris rampung. Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, 95% daftar inventarisasi masalah (DIM) dalam RUU Cipta Kerja telah dilakukan pembahasan.

Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Elen Setiadi mengatakan, RUU Cipta Kerja diharapkan ke depan bisa menjadi transformasi ekonomi Indonesia.

Terdapat beberapa hal yang telah dibahas. Seperti integrasi tata ruang baik baik di darat, laut, termasuk kawasan hutan. RUU Cipta Kerja akan mendorong percepatan rencana detail tata ruang (RDTR) dalam bentuk digital.

Baca Juga: DPR dan pemerintah sepakat keluarkan pasal-pasal tentang pers dari RUU Cipta Kerja

Adapun terkait persetujuan lingkungan, di mana tidak dihilangkannya analisa dampak lingkungan (Amdal). Akan tetapi hanya menyederhanakan proses tanpa menghilangkan esensi perlindungan terhadap daya dukung lingkungan dan lingkungan hidup itu sendiri.

Sedangkan, perizinan berbasis risiko (risk based approach), yakni perizinan yang dikategorikan berdasarkan risikonya. Elen menyebut, yang perlu izin adalah perizinan berusaha berbasis risiko tinggi. Jika risikonya menengah atau menengah tinggi adalah dengan pemenuhan standar.

Sedangkan untuk risiko rendah seperti UMK cukup dengan pendaftaran melalui OSS (online single submission). Dengan demikian sudah teregister dan mendapatkan semacam lisensi atau perizinan dari pemerintah pusat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto