KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dua pakar kebijakan publik sekaligus ekonom menentang keras rencana pemerintah untuk mengalihkan dana subsidi Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kg untuk pengembangan proyek Dimethyl Ether (DME) yang dihasilkan dari proses gasifikasi batubara. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menyebut kebijakan ini sebaiknya perlu dihindari. Karena subsidi LPG 3 kg disasar untuk keluarga menengah kebawah, dan akan sangat berpengaruh pada daya beli masyarakat. "Saat ini daya beli masyarakat sedang rendah; jika berbagai subsidi dicabut, daya beli itu akan semakin terpuruk. Ini tidak adil bagi masyarakat," ungkap Samirin kepada Kontan, Minggu (14/12/2025). Hal lain menurutnya, DME batubara adalah proyek mahal yang berisiko; secara finansial tidak feasible kecuali dengan subsidi yang besar dan harga batubara murah, harga jual akan jauh dibawah harga LPG. Baca Juga: Pemerintah Hitung Ulang Harga DME, Subsidi LPG 3 Kg Berpotensi Dipangkas "Hal lain, saya kira, belum ada contoh sukses di dunia, beberapa negara menerapkan karena tidak punya pilihan, jadi ini karena alasan strategis bukan ekonomis. China mulai menutup beberapa fasilitas DME, Jepang pernah mencoba tetapi hanya dalam skala uji coba — tidak pernah hingga ke level komersial, karena memang tidak layak. Di Indonesia pernah dicoba beberapa kali tetapi tidak berhasil," jelas dia. Adapun, saat ditanya mengenai sumber pendanaan yang paling potensial bagi DME, Samirin bahkan menyebut ide DME sebaiknya 'dimaksukkan ke laci'. Meskipun melalui Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional yang diketuai oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia telah mengajukan enam proyek DME kepada Danantara, Samirin menyebut beban Sovereign Wealth Fund tersebut sudah cukup banyak. "Danantara sudah mendapatkan beban dan penugasan terlalu banyak. Jangan ditambah dengan penugasan terkait DME. Idealnya, ide DME ini dimasukkan laci, baru dipikirkan lagi jika ditemukan teknologi yang lebih efisien, secara finansial semakin layak, dan kondisi fiscal kita mulai memungkinkan," kata dia. Baca Juga: Kuota LPG 3 Kg Naik 370.000 Ton, Anggaran Subsidi Tetap Senada, Ekonom dan Direktur Kebijakan Publik di CELIOS, Media Wahyudi Askar menyebut pengalokaan subsidi 3 kg untuk DME sangat tidak tepat. "Saya rasa tidak tepat, apalagi ini kan untuk rumah tangga miskin. Karena subsidi 3 kg ini kan untuk subsidi sosial dan pengaruhnya ke daya beli. Jadi awalnya modal untuk masyarakat menengah ke bawah malah menjadi modal untuk industri," jelas dia. Dari bisnis, Askar menyebut DME belum masuk sebagai reliable business atau bisnis yang dapat diandalkan atau bisnis yang terpercaya. "Sebenarnya DME ini belum reliable, dari segi resiko proyek, pembiayaan juga masih sangat high risk. Sudah beberapa kali disampaikan bahwa DME ini masih mahal, di Indonesia juga sempat gagal menarik investor karena subsidinya besar, kalau ini dibebankan ke APBN, resiko fiskalnya akan besar sekali," tutupnya. Asal tahu saja, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sempat memberikan sinyal akan mengalihkan subsidi liquified petroleum gas (LPG) ke dimetil eter (DME) untuk membuat harga jual pengganti gas minyak cair tersebut lebih ekonomis.
Pakar Kebijakan Publik Tentang Keras Pengalihan Subsidi LPG 3 Kg untuk Proyek DME
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dua pakar kebijakan publik sekaligus ekonom menentang keras rencana pemerintah untuk mengalihkan dana subsidi Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kg untuk pengembangan proyek Dimethyl Ether (DME) yang dihasilkan dari proses gasifikasi batubara. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menyebut kebijakan ini sebaiknya perlu dihindari. Karena subsidi LPG 3 kg disasar untuk keluarga menengah kebawah, dan akan sangat berpengaruh pada daya beli masyarakat. "Saat ini daya beli masyarakat sedang rendah; jika berbagai subsidi dicabut, daya beli itu akan semakin terpuruk. Ini tidak adil bagi masyarakat," ungkap Samirin kepada Kontan, Minggu (14/12/2025). Hal lain menurutnya, DME batubara adalah proyek mahal yang berisiko; secara finansial tidak feasible kecuali dengan subsidi yang besar dan harga batubara murah, harga jual akan jauh dibawah harga LPG. Baca Juga: Pemerintah Hitung Ulang Harga DME, Subsidi LPG 3 Kg Berpotensi Dipangkas "Hal lain, saya kira, belum ada contoh sukses di dunia, beberapa negara menerapkan karena tidak punya pilihan, jadi ini karena alasan strategis bukan ekonomis. China mulai menutup beberapa fasilitas DME, Jepang pernah mencoba tetapi hanya dalam skala uji coba — tidak pernah hingga ke level komersial, karena memang tidak layak. Di Indonesia pernah dicoba beberapa kali tetapi tidak berhasil," jelas dia. Adapun, saat ditanya mengenai sumber pendanaan yang paling potensial bagi DME, Samirin bahkan menyebut ide DME sebaiknya 'dimaksukkan ke laci'. Meskipun melalui Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional yang diketuai oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia telah mengajukan enam proyek DME kepada Danantara, Samirin menyebut beban Sovereign Wealth Fund tersebut sudah cukup banyak. "Danantara sudah mendapatkan beban dan penugasan terlalu banyak. Jangan ditambah dengan penugasan terkait DME. Idealnya, ide DME ini dimasukkan laci, baru dipikirkan lagi jika ditemukan teknologi yang lebih efisien, secara finansial semakin layak, dan kondisi fiscal kita mulai memungkinkan," kata dia. Baca Juga: Kuota LPG 3 Kg Naik 370.000 Ton, Anggaran Subsidi Tetap Senada, Ekonom dan Direktur Kebijakan Publik di CELIOS, Media Wahyudi Askar menyebut pengalokaan subsidi 3 kg untuk DME sangat tidak tepat. "Saya rasa tidak tepat, apalagi ini kan untuk rumah tangga miskin. Karena subsidi 3 kg ini kan untuk subsidi sosial dan pengaruhnya ke daya beli. Jadi awalnya modal untuk masyarakat menengah ke bawah malah menjadi modal untuk industri," jelas dia. Dari bisnis, Askar menyebut DME belum masuk sebagai reliable business atau bisnis yang dapat diandalkan atau bisnis yang terpercaya. "Sebenarnya DME ini belum reliable, dari segi resiko proyek, pembiayaan juga masih sangat high risk. Sudah beberapa kali disampaikan bahwa DME ini masih mahal, di Indonesia juga sempat gagal menarik investor karena subsidinya besar, kalau ini dibebankan ke APBN, resiko fiskalnya akan besar sekali," tutupnya. Asal tahu saja, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sempat memberikan sinyal akan mengalihkan subsidi liquified petroleum gas (LPG) ke dimetil eter (DME) untuk membuat harga jual pengganti gas minyak cair tersebut lebih ekonomis.
TAG: