KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pakar Hukum Kehutanan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta Dr Sadino menyatakan, permasalahan izin terkait bisnis perkebunan kelapa sawit merupakan permasalahan administrasi. Jika ada permasalahan izin, bukanlah merupakan tindak pidana dan tidak masuk dalam ruang lingkup perkara korupsi. hal itu, diatur dengan PerPpu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UUCK) pada Pasal 110A. Dimana kegiatan usaha didalam kawasan hutan dan memiliki perizinan berusaha sebelum berlakunya UU ini dan belum memenuhi, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tiga tahun.
Baca Juga: Sinar Mas Land Berikan Stimulus Subsidi Bunga Bank dalam Program Smart Move “Jika setelah lewat tiga tahun sejak berlakunya UU ini tidak menyelesaikan maka akan dikenai sanksi administratif, berupa, penghentian sementara kegiatan usaha, denda administratif; dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha,” kata Sadino dalam keterangan tertulisnya, Kamis,(19/1/2023). Menurut Sadino, pelaku usaha masih diberikan waktu selama tiga tahun sejak UUCK dan Perpu 2 dikeluarkan untuk menuntaskan administrasi pengurusan izin dan tidak masuk ruang lingkup tindak pidana korupsi. “Sehingga permasalahan izin yang menjerat beberapa perusahaan seharusnya dikenakan sanksi administratif bukan sanksi pidana. Karena izin adalah otoritas pemberi izin dan termasuk dalam tindakan administrasi,” tegas Sadino. Sadino menambahkan, baik Pasal 110A dan 110B UUCK menggunakan Asas Hukum "Ultimum remedium" dan "Restoratif Justice", dan mencakup kebun sawit di Kawasan hutan sebelum berlakunya UU CK serta mensyaratkan adanya izin lokasi dan/atau izin usaha perkebunan yang sesuai tata ruang, baik itu IUP untuk Korporasi, dan Surat Tanda Daftar-Budidaya (STD-B) untuk masyarakat maksimal 25 hektar.
Baca Juga: Pembangunan IKN Dikebut, Ini Rencana Tiga Akses Menuju IKN Nusantara Izin lokasi dan/atau IUP ini berbeda dengan Hak Atas Tanah. Sehingga model penyelesaiannya memerlukan verifikasi teknis dengan menggunakan “sebelum ditunjuk” kawasan hutan sesuai PP No. 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan setelah ditunjuk Kawasan hutan sesuai Pasal 25.
Mantan Staf Ahli Menteri ATR/BPN Iing Sodikin membenarkan, jika ada masalah kepemilikan antara tanah perkebunan atau kehutanan, lazimnya dilakukan penelitian ke lapangan oleh beberapa pihak, termasuk Pemda, BPN, polisi kehutanan, kemudian dipaduserasikan dan diputuskan apakah diselesaikan sesuai perda atau dikeluarkan izin pelepasan. Sementara itu, Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Herban Heryadana menyatakan, dalam menentukan kawasan hutan perlu ada kesepakatan Menteri LHK dengan Pemerintah Daerah, termasuk di Riau. Kesepakatan tersebut kemudian diformalkan dalam bentuk peta tata guna hutan dengan Surat Keputusan Menteri. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli