KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gas bumi semakin menempati posisi strategis dalam agenda ketahanan dan transisi energi nasional sebagai sumber energi fosil yang lebih bersih sekaligus penopang keandalan pasokan menuju target Net Zero Emission 2060. Sejalan dengan arah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 dan Asta Cita 2024–2029, pemerintah mendorong peningkatan pemanfaatan gas bumi di sektor industri dan rumah tangga di tengah proyeksi kenaikan konsumsi gas dan penurunan penggunaan LPG. Namun, percepatan peran gas bumi masih dihadapkan pada tiga masalah besar: keterbatasan infrastruktur, ketidakpastian pasokan hulu, serta perubahan skema pembiayaan jaringan gas rumah tangga yang tidak lagi didukung APBN sejak 2023. Dalam diskusi publik yang diselenggarakan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov – Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan, INDEF, menyoroti kesenjangan struktural antara target dan realisasi produksi gas bumi nasional yang berlangsung konsisten dalam beberapa tahun terakhir. Di tengah peningkatan target pemanfaatan gas dalam Kebijakan Energi Nasional, tren produksi gas justru cenderung menurun, sementara realisasi pemanfaatan gas dalam bauran energi tertinggal jauh dari sasaran. Ketidaksinkronan ini mencerminkan persoalan sistemik pada sisi hulu, mulai dari penambahan cadangan hingga keberlanjutan produksi, yang berdampak langsung pada kepastian pasokan gas domestik. Baca Juga: Kepastian Pasokan Gas Bumi Jadi Penentu Hilirisasi Industri Nasional Selain sisi produksi, Abra menekankan kesenjangan infrastruktur gas bumi sebagai hambatan utama optimalisasi pemanfaatan gas di dalam negeri. Pengembangan jaringan pipa transmisi dan distribusi belum mampu mengimbangi pertumbuhan kebutuhan gas, baik secara sektoral maupun kewilayahan. "Kondisi ini memperbesar risiko mismatch antara lokasi pasokan dan pusat permintaan, sekaligus membatasi fleksibilitas alokasi gas domestik di tengah meningkatnya kebutuhan energi nasional," kata dia dalam diskusi yang disiarkan daring, dikutip Rabu (24/12/2025). Tekanan permintaan gas bumi diproyeksikan semakin kuat dari sektor ketenagalistrikan dan industri pupuk. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 mencantumkan penambahan pembangkit berbasis gas yang signifikan sehingga kebutuhan gas untuk sektor listrik meningkat dalam jangka menengah. Pada saat yang sama, terbitnya Perpres No. 113 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Pupuk Bersubsidi membuka ruang revitalisasi pabrik pupuk nasional, yang berimplikasi pada lonjakan kebutuhan gas bumi domestik sebagai bahan baku utama. Abra menilai peningkatan permintaan tersebut perlu diimbangi dengan percepatan produksi gas, penguatan alokasi gas untuk kebutuhan dalam negeri, serta integrasi perencanaan supply–demand secara menyeluruh. Tanpa langkah korektif pada sisi hulu dan infrastruktur, kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan berpotensi memicu defisit gas bumi berkepanjangan dan pada akhirnya melemahkan agenda swasembada energi nasional.
Pakar Ungkap 3 Masalah Utama dalam Percepatan Penggunaan Gas Bumi di Indonesia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gas bumi semakin menempati posisi strategis dalam agenda ketahanan dan transisi energi nasional sebagai sumber energi fosil yang lebih bersih sekaligus penopang keandalan pasokan menuju target Net Zero Emission 2060. Sejalan dengan arah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 dan Asta Cita 2024–2029, pemerintah mendorong peningkatan pemanfaatan gas bumi di sektor industri dan rumah tangga di tengah proyeksi kenaikan konsumsi gas dan penurunan penggunaan LPG. Namun, percepatan peran gas bumi masih dihadapkan pada tiga masalah besar: keterbatasan infrastruktur, ketidakpastian pasokan hulu, serta perubahan skema pembiayaan jaringan gas rumah tangga yang tidak lagi didukung APBN sejak 2023. Dalam diskusi publik yang diselenggarakan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov – Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan, INDEF, menyoroti kesenjangan struktural antara target dan realisasi produksi gas bumi nasional yang berlangsung konsisten dalam beberapa tahun terakhir. Di tengah peningkatan target pemanfaatan gas dalam Kebijakan Energi Nasional, tren produksi gas justru cenderung menurun, sementara realisasi pemanfaatan gas dalam bauran energi tertinggal jauh dari sasaran. Ketidaksinkronan ini mencerminkan persoalan sistemik pada sisi hulu, mulai dari penambahan cadangan hingga keberlanjutan produksi, yang berdampak langsung pada kepastian pasokan gas domestik. Baca Juga: Kepastian Pasokan Gas Bumi Jadi Penentu Hilirisasi Industri Nasional Selain sisi produksi, Abra menekankan kesenjangan infrastruktur gas bumi sebagai hambatan utama optimalisasi pemanfaatan gas di dalam negeri. Pengembangan jaringan pipa transmisi dan distribusi belum mampu mengimbangi pertumbuhan kebutuhan gas, baik secara sektoral maupun kewilayahan. "Kondisi ini memperbesar risiko mismatch antara lokasi pasokan dan pusat permintaan, sekaligus membatasi fleksibilitas alokasi gas domestik di tengah meningkatnya kebutuhan energi nasional," kata dia dalam diskusi yang disiarkan daring, dikutip Rabu (24/12/2025). Tekanan permintaan gas bumi diproyeksikan semakin kuat dari sektor ketenagalistrikan dan industri pupuk. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 mencantumkan penambahan pembangkit berbasis gas yang signifikan sehingga kebutuhan gas untuk sektor listrik meningkat dalam jangka menengah. Pada saat yang sama, terbitnya Perpres No. 113 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Pupuk Bersubsidi membuka ruang revitalisasi pabrik pupuk nasional, yang berimplikasi pada lonjakan kebutuhan gas bumi domestik sebagai bahan baku utama. Abra menilai peningkatan permintaan tersebut perlu diimbangi dengan percepatan produksi gas, penguatan alokasi gas untuk kebutuhan dalam negeri, serta integrasi perencanaan supply–demand secara menyeluruh. Tanpa langkah korektif pada sisi hulu dan infrastruktur, kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan berpotensi memicu defisit gas bumi berkepanjangan dan pada akhirnya melemahkan agenda swasembada energi nasional.
TAG: