Paket ekonomi nihil pengerek daya beli



JAKARTA. Dua jilid paket ekonomi sudah keluar. Sayang, belum satu pun dari dua paket itu yang secara tegas dan lugas merilis kebijakan yang bertujuan mengerek daya beli masyarakat. Sejauh ini, paket ekonomi itu masih berkutat pada investasi, upaya menarik devisa ekspor, kemudahan perizinan usaha atau investasi.

Memang jika semua terlaksana, sejumlah paket ekonomi tersebut bisa berdampak positif bagi ekonomi Indonesia. Namun manfaatnya baru terasa dalam jangka panjang. Padahal untuk menyelamatkan ekonomi dalam jangka pendek, idealnya pemerintah membangkitkan kembali daya beli masyarakat yang tengah menukik tajam.

Maklum, peningkatan daya beli masyarakat diyakini bisa memompa kembali ekonomi dalam negeri yang sedang terpuruk. Upaya menggairahkan kembali daya beli masyarakat pun mudah. Misalnya, menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM), menurunkan tarif dasar listrik, menggenjot program padat karya, hingga membuka keran penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) bagi masyarakat miskin.


Tentang BLT dan program padat karya, jelas sangat tergantung pada ketersediaan dana pemerintah. Sayang, agenda itu masih luput masuk dalam dua paket ekonomi yang sudah keluar. Ihwal harga BBM, sebagai contoh, pemerintah masih ngotot mempertahankan harga premium dan solar. Padahal, peluang itu ada. Sebab saat ini harga minyak mentah dunia turun ke level US$ 45 per barel.

Sementara mean of platts Singapore (MOPS) minyak solar per September masing-masing turun 18% dibandingkan dengan posisi Agustus 2015. Pada periode sama, MOPS premium turun 8%. Toh, data-data itu belum menggoyahkan harga BBM.

"Per 1 Oktober tidak ada penurunan harga BBM," tandas Sudirman Said, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, kemarin (30/9).

Untunglah masih ada sedikit obat pelipur lara. Mulai 1 Oktober 2015, Perusahaan Listrik Negara (PLN) menurunkan tarif listrik golongan pelanggan non-subsidi, rata-rata turun sebesar 2% atau sekitar Rp 20 per kilowatt hour (kwh). Pertimbangannya, biaya energi di pembangkit sudah turun.

Penurunan lanjutan

Namun, Direktur Eksekutif Institute National Development and Financial (Indef) Enny Sri Hartati, menilai, penurunan tarif listrik tersebut belum cukup meningkatkan daya beli masyarakat. Menurut Enny, pemerintah perlu memberikan diskon tarif dasar listrik untuk golongan rumah tangga berdaya mulai 1.300 VA ke bawah.

Selain itu industri padat modal seperti garmen dan tekstil dan industri padat karya dan padat modal lainnya. "Tentu ini meringankan biaya produksi," kata Enny, Rabu (30/9).

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey berharap, peningkatan daya beli masyarakat jadi fokus pemerintah. Sebab, daya beli masyarakat terus masuk ke tren yang tak menggembirakan. "Termasuk penjualan seperti mi instan agak tergerus," kata Roy.

Roy menilai, penurunan harga BBM dan listrik akan berpengaruh signifikan terhadap produsen maupun konsumen. Penurunan beban biaya energi ini diyakini bisa mendongkrak daya beli masyarakat lagi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie