JAKARTA. Paket kebijakan jilid II yang akan segera diluncurkan pemerintah dinilai tidak cukup untuk mengatasi defisit neraca transaksi berjalan. "Kebijakan yang baru itu efektivitasnya akan berkurang karena impact terlalu kecil, karena mobil mewah atau barang mewah itu orang Indonesia makin mahal harganya makin dibeli, jadi tidak akan ada impact," kata Ekonom Aviliani di Jakarta, Senin (2/12). Lebih lanjut, Aviliani menyatakan kenaikan pajak yang menstimulasi pengurangan impor sifatnya tidak seimbang dengan konsumsi barang-barang impor di dalam negeri. Hal ini, kata dia, membuat rupiah semakin melemah. "Kata Pak Fuad (Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany), kenaikan pajak naik, tapi kenaikan pajak tidak seimbang dengan kenaikan impornya yang membuat rupiah semakin melemah. Menurut saya kalau mau memilih, pilihlah yang signifikan," ungkapnya. Aviliani menjelaskan, terdapat beberapa komponen yang pajak impornya harus ditingkatkan. Ini mengingat paket kebijakan pemerintah jilid 2 salah satu tujuannya adalah guna mengurangi kebutuhan akan barang-barang impor. Bahan bakar minyak (BBM) dan baja dinilai Aviliani berada di peringkat teratas angka impor. "Impor baja kita tinggi karena ada pembangunan infrastruktur dan properti. Ini yang harusnya dipilah lagi. Yang berkaitan dengan infrastruktur itu tidak bisa direm. Jadi dari sini kalau sebenarnya efektifitasnya akan relatif terlihat kalau mainnya di situ," jelas dia. Terkait impor BBM, Aviliani menyatakan dukungannya terhadap penggunaan BBM non subsidi bagi kendaraan pribadi. Di samping itu, ia pun mendukung peningkatan mandatori konversi BBM ke biodiesel dari 10% ke 30%. (Sakina Rakhma Diah Setiawan)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Paket kebijakan II tak cukup atasi defisit neraca
JAKARTA. Paket kebijakan jilid II yang akan segera diluncurkan pemerintah dinilai tidak cukup untuk mengatasi defisit neraca transaksi berjalan. "Kebijakan yang baru itu efektivitasnya akan berkurang karena impact terlalu kecil, karena mobil mewah atau barang mewah itu orang Indonesia makin mahal harganya makin dibeli, jadi tidak akan ada impact," kata Ekonom Aviliani di Jakarta, Senin (2/12). Lebih lanjut, Aviliani menyatakan kenaikan pajak yang menstimulasi pengurangan impor sifatnya tidak seimbang dengan konsumsi barang-barang impor di dalam negeri. Hal ini, kata dia, membuat rupiah semakin melemah. "Kata Pak Fuad (Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany), kenaikan pajak naik, tapi kenaikan pajak tidak seimbang dengan kenaikan impornya yang membuat rupiah semakin melemah. Menurut saya kalau mau memilih, pilihlah yang signifikan," ungkapnya. Aviliani menjelaskan, terdapat beberapa komponen yang pajak impornya harus ditingkatkan. Ini mengingat paket kebijakan pemerintah jilid 2 salah satu tujuannya adalah guna mengurangi kebutuhan akan barang-barang impor. Bahan bakar minyak (BBM) dan baja dinilai Aviliani berada di peringkat teratas angka impor. "Impor baja kita tinggi karena ada pembangunan infrastruktur dan properti. Ini yang harusnya dipilah lagi. Yang berkaitan dengan infrastruktur itu tidak bisa direm. Jadi dari sini kalau sebenarnya efektifitasnya akan relatif terlihat kalau mainnya di situ," jelas dia. Terkait impor BBM, Aviliani menyatakan dukungannya terhadap penggunaan BBM non subsidi bagi kendaraan pribadi. Di samping itu, ia pun mendukung peningkatan mandatori konversi BBM ke biodiesel dari 10% ke 30%. (Sakina Rakhma Diah Setiawan)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News