KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sumber daya panas bumi Indonesia yang melimpah dinilai potensial untuk mendukung program dekarbonisasi. Masa depan energi panas bumi di Indonesia cukup cerah di tengah transisi energi menuju energi baru terbarukan (EBT) yang masif saat ini. Sifat energi panas bumi yang bersih, aman dari sisi pasokan, dan harganya cukup terjangkau (
affordable) menjadi salah satu alternatif terbaik bagi Indonesia. “Indonesia juga dituntut untuk melakukan peralihan menuju energi bersih,” kata Direktur Eksplorasi dan Pengembangan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Rachmat Hidayat dalam keterangan resmi, Jumat (10/6).
Saat ini, Indonesia merupakan negara dengan potensi panas bumi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi panas bumi di Indonesia mencapai 23,7 GW. Dengan kapasitas pembangkit listrik panas bumi (PLTP) sebesar 2.276 MW, memanfaatkan panas bumi di Indonesia juga menempati posisi kedua setelah Amerika Serikat.
Baca Juga: Begini Pandangan East Ventures Soal Fenomena Bubble Burst pada Startup Rachmat menuturkan, Indonesia telah berpengalaman selama 39 tahun dalam pengembangan dan pengoperasian lapangan panas bumi, dimulai dengan PLTP Kamojang pada 1983. “Panas bumi merupakan energi bersih yang
sustainable apabila dilakukan manajemen reservoir dengan baik.
Geothermal akan memegang peranan yang semakin penting bagi program dekarbonisasi untuk mendukung energi bersih,” kata Rachmat. Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Perwakilan Industri Herman Darnel Ibrahim menambahkan, Indonesia harus memaksimalkan pemanfaatan panas bumi untuk mencapai bauran energi 23 persen pada 2025, dan pada ujungnya Karbon Netral (
Net Zero Emission) pada 2060. Dibandingkan dengan EBT yang lain, panas bumi memang memiliki banyak kelebihan. “Salah satu yang utama adalah pasokannya stabil dan
capacity factor-nya tinggi,” ujarnya. "Dengan sifat seperti itu, panas bumi berpotensi menjadi pembangkit beban dasar (
base-load). Sampai saat ini, hanya pembangkit berbasis fosil yang menjadi pembangkit beban dasar, terutama PLTU yang berbahan bakar batu bara. “Selain pasokan listriknya stabil, harganya termasuk murah,” kata Herman. Sementara itu, pembangkit EBT lain seperti air, tenaga surya, dan angin sangat bergantung pada cuaca. Herman mengatakan PLTP bisa menjadi pembangkit beban dasar tapi tidak bisa menggantikan sepenuhnya PLTU. Sebagai contoh, berdasarkan Rencana Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, beban puncak di sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali pada 2021 mencapai 29,5 GW, sementara potensi panas bumi di kawasan ini hanya 8 GW.
Baca Juga: Begini Strategi Pertamina Mengompensasi Kerugian di Sektor Hilir Migas “Pada 2060, prediksi saya produksi listrik panas bumi berkisar 150 TWh, sementara produksi listrik secara nasional akan mencapai 2.600 TWh,” kata Herman. Herman mengusulkan strategi pengembangan yang berbeda antara Sumatera-Jawa dengan daerah lain yang memiliki potensi panas bumi. Sebagai contoh, untuk Sumatera dan Jawa, listrik dari panas bumi dinilai bisa masuk ke grid milik PLN. Langkah ini dapat mengurangi pasokan listrik dari fosil. Selain itu, masih ada tambahan EBT yang cukup besar dari energi air, surya dan angin. Kendati demikian untuk surya dan air masih memerlukan baterai penyimpanan yang masif. Adapun, untuk di luar Sumatera dan Jawa, lanjut Herman, maksimalisasi panas bumi bisa dilakukan dengan mempercepat pengembangan Kawasan Industri Berbasis Energi Terbarukan (Renewable Energy Based Industrial Development/REBID) dan Kawasan Ekonomi Berbasis Energi Terbarukan (Renewable Energy Based Economic Development/REBED).
Editor: Tendi Mahadi