KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Awal tahun depan Indonesia menghadapi pesta politik, serta eskalasi perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Menurut Eko Listiyanto ekonom Indef, Indonesia perlu memperhatikan dampak ketidak pastian global karena fundamental Tanah Air yang di rasa belum kuat. "Januari sampai April kondisi ekonomi akan lebih banyak yang muncul sentimen global maupun di lokal di luar pemilu. Pemilu jalan aja. Ekonomi melihat fundamental," jelas Eko saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (24/12). Gencatan sementara perang dagang AS-Tiongkok akan selesai pada Maret 2019, setelahnya global akan merespon hasil renegosiasi mereka. Menurut pandangan Eko, belum tentu AS-Tiongkok menghentikan perang dagang pada bulan tersebut.
Analisisnya, pada masa berakhirnya 90 hari, kedua negara tersebut akan melakukan tinjauan ulang atas indikator ekonomi masing-masing. Apabila defisit neraca transaksi berjalan (
current account deficit/CAD) AS melebar, dan berbagai indikator ekonomi melemah selama masa ini maka ada kemungkinan AS akan nekat tidak melanjutkan negosiasi. "Karena yang dibutuhkan CAD AS turun, kalau tidak buat apa melanjutkan gencatan senjata," jelasnya. Begitu pula dengan Tiongkok yang berkomitmen akan impor lebih banyak dari AS. AS tentu akan melihat kuantitas impor Tiongkok, apabila tidak cukup besar, maka kondisi ini tak menguntungkan AS. Sedangkan Tiongkok akan memiliki argumen pertumbuhan ekonomi yang melemah menyebabkan impor tak bisa tumbuh tinggi. Momen tersebut akan terjadi satu bulan sebelum Pemilu. Eko mengatakan pemerintah harus sudah memiliki upaya untuk mengatasi ketidakpastian tersebut. Pasalnya kondisi tersebut bisa mempengaruhi volatilitas rupiah dan IHSG. "Dugaan saya, memperkirakan perang dagang akan berlanjut karena gencatan tidak akan dilanjutkan. Ketidakpastian biasanya menyebabkan outflow di pasar kita," ungkap Eko. Untuk meredam gejolak tersebut, Eko menyebutkan 'senjata' ampuh yakni fundamental ekonomi. Sayangnya tak banyak indikator makro ekonomi yang bisa meredam di triwulan I. Apalagi banyak yang memperkirakan CAD 2018 akan berada dikisaran 3% dari produk domestik bruto (PDB) atau malah melebihi, karena kinerja ekspor yang tak tumbuh tinggi. "Bukan masa peak. Lebaran saja di triwulan II. Januari atau Februasi juga ada pengumuman CAD semua prediksi di atas 3% PDB itu kan gak membaik, secara fundamental susah bilang baik tp CAD memburuk, kalo tidak ada indikator yang kuat," jelasnya.
Di sisi lain, jelang Pemilu, indikator makro tak begitu berpengaruh. Penyelenggara hanya perlu memperhatikan keamanan dan kelancaran, serta peserta pemilu harus siap menerima kekalahan. Menurut Eko, pengalaman 2014, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merespon saat kedua kubu saling klaim kemenangan hasil quick count. "Saat Prabowo dan Jokowi salaman rupiah menguat. Artinya pemilu aman damai dan siap menang kalah membuta sektor keuangan optimis. Itu terjadi setelah ada hasilnya," ungkap Eko. Namun sentimen positif tak cukup kuat menahan dalam jangka panjang, kecuali ditunjukkan dengan fundamental yang baik. Sehingga saat sentimen meredup, pertumbuhan ekonomi juga meredup. "Ruang itu semakin besar karena ekonomi masih bergejolak, pandangan harga minyak, tantangan perang dagang itu masih masih cukup tinggi," ungkapnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .