Pandemi, Butuh Tambahan Angkutan Publik Secepatnya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ada tiga pokok masukan narasumber focus group discussion (FGD) KONTAN berjudul "Penerapan 3M di Transportasi Publik", Jumat (6/11) yang lalu.

Pertama, para narasumber berharap, Pemerintah Daerah (Pemda) bisa menambah armada transportasi bus alias Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway (APTB) di wilayah Jabodetabek. APTB sangat dibutuhkan, khususnya untuk penumpang yang beraktivitas "keluar-masuk" Jakarta.

Kedua, seluruh penumpang pengguna transportasi publik atau umum, sebaiknya selalu disiplin menerapkan protokol kesehatan, bijak bertransportasi, dan menerapkan 3M atau menjaga jarak, mencuci tangan, dan memakai masker.


Ketiga, penambahan layanan bus Jabodetabek Residence (JR) Connexion dan TransJabodetabek, termasuk jaringan sepeda. Hanya saja, sepertinya Pemerintah harus menyiapkan infrastruktur yang memadai dan aman bagi pesepeda.

Hadir sebagai narasumber FGD "Penerapan 3M di Transportasi Publik" antara lain Vice President PT KCI (Commuterline), ibu Anne Purba, mewakili perusahaan transportasi. Djoko Setijowarno mewakili akademisi dari Unika Soegijapranata sebagai Pengamat Tranportasi Publik dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat. 

Terakhir, Fransiska Firlana, ibu rumah tangga yang mewakili pengguna transportasi publik yang sehari-hari bekerja di Jakarta namun tinggal di luar daerah Jakarta. Bagi Firla, demikian ia akrab disapa, transportasi publik sangat vital di hidup kesehariannya.

Menurut Firla, kampanye penerapan 3M di transportasi publik sudah cukup berhasil karena masyarakat sebagai penumpang mulai perhatian. Sebagai contoh, di KRL Jabodetabek, pengguna transportasi mulai menerapkan protokol kesehatan 3M.

Penumpang sudah terbiasa untuk menjaga jarak, di mana kapasitas tempat duduk yang semula tujuh hingga delapan orang, saat ini hanya empat orang. Penggunaan masker juga sudah hampir 100% terlaksana oleh para penumpang. Meski begitu, kedisiplinan dalam penggunaan gawai untuk menelpon di transportasi publik masih sering dilanggar. 

Sedangkan menurut Djoko, penerapan 3M pada moda transportasi publik masih bervariasi, tergantung dari jenis moda transportasinya. Untuk transportasi publik yang dikelola oleh badan usaha milik negara (BUMN) lebih displin dalam penerapan 3M, namun berbeda dengan transportasi yang dikelola oleh pihak swasta yang belum sepenuhnya disiplin.

Misalnya, kata Djoko, untuk moda transportasi pesawat yang dikelola oleh BUMN sangat ketat dalam penerapan 3M. Penumpang harus tes PCR atau rapid test sebelum naik pesawat. Sementara moda transportasi bus atau kereta jarak jauh menerapkan protokol kesehatan 3M yang sedikit berbeda dengan moda transportasi pesawat.

Anne Purba berpendapat, 3M sudah diterapkan dengan sangat ketat dan disiplin. Rangkaian kereta secara rutin dibersihkan baik setelah jam operasional selesai maupun on trip cleaning. Selain itu, untuk mengatur sirkulasi udara di rangkaian kereta, PT KAI menerapkan kebijakan untuk membuka jendela selama perjalanan KRL.

PT KAI juga menerapkan jam operasional KRL secara normal seperti sebelum masa pandemi. Artinya, kapasitas rangkaian kereta tetap normal. Kebijakan dari PT KAI yang lain adalah mengatur volume penumpang dengan menerapkan aturan melarang penumpang manula dan anak kecil atau balita untuk naik KRL pada jam-jam sibuk. Fasilitas seperti hand sanitizer, tempat cuci tangan (washtafel portable), sabun, pengecek suhu tubuh, dll. juga sudah disiapkan di seluruh stasiun KRL di Jabodetabek.

Tantangan dan solusi

Kesulitan penerapan 3M pada moda transportasi publik, menurut para narasumber diskusi, justru sulitnya mengatur penumpang supaya patuh menjaga jarak, terutama di jam-jam padat penumpang. Kesadaran penumpang yang masih rendah, menuntut ketegasan para petugas dalam mengingatkan pengguna agar selalu disiplin menerapkan 3M.

Di luar kesadaran penumpang, tantangan yang lain adalah menertibkan angkutan umum yang tidak berbadan hukum atau milik perorangan yang masih sulit diajak displin menerapkan 3M. Banyak kasus angkutan umum yang tidak berbadan hukum ini mengabaikan protokol kesehatan dalam kegiatan operasionalnya.

Sedangkan kebijakan tentang pelat nomor mobil ganjil-genap yang bertujuan untuk menekan mobilitas warga ternyata kurang efektif. Alasannya, karena warga memang punya kebutuhan untuk mobilitas dan berkegiatan, sehingga ketika kebijakan ganjil-genap diberlakukan maka mereka akan beralih ke transportasi publik. 

Solusinya, saran dari para narasumber, Pemerintah perlu menambah jumlah transportasi publik yang lain, seperti angkutan yang dipersiapkan di dekat kawasan perumahan agar warga tetap bisa berkegiatan namun tetap bisa menjaga protokol kesehatan. Selain itu, kebijakan yang mengatur aktivitas warga dipandang sebagai solusi yang lebih efektif daripada kebijakan ganjil-genap. Dengan mengatur aktivitas warga, maka kerumunan dan penumpukan penumpang dapat dikendalikan. 

Terakhir, penerapan sanksi bagi penyedia dan pengguna transportasi publik sejauh ini kurang efektif. Alasannya, sampai hari ini belum ada operator atau pengelola transportasi publik yang mendapat sanksi ketika melanggar protokol kesehatan 3M. Hal yang sama terjadi pada para penumpang transportasi publik yang melanggar, yaitu hanya diberi peringatan lisan sehingga tidak ada efek jera.

Artikel ini merupakan poin rangkuman dan tidak akan pernah bisa menggantikan momen FGD seutuhnya. Anda bisa mengikuti dan menonton proses diskusi FGD "Penerapan 3M di Transportasi Publik" secara lengkap di KONTAN TV pada link berikut: https://www.youtube.com/watch?v=vuvKSpa2s_Y&t=21s

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Andri Indradie