KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings menyatakan, pandemi virus corona dapat memperparah tantangan bagi produsen
crude palm oil (CPO) di Indonesia. Profil utang para perusahaan CPO berpotensi semakin tertekan. Pasalnya, sejak Februari 2020, harga jual CPO terus terkoreksi menyusul berkurangnya permintaan. Sebagaimana diketahui, penurunan harga jual CPO yang terjadi pada 2019 telah membuat pendapatan dan laba bersih para emiten CPO merosot. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) juga akan memperburuk dampak ke sektor CPO. Mengingat, kemampuan daya beli masyarakat akan menurun serta meningkatkan beban keuangan. Fitch menilai, perusahaan yang bisa melewati krisis ini adalah yang memiliki kemampuan mengelola likuiditas.
Baca Juga: Corona Membuat Risiko Utang Emiten Perkebunan Kelapa Sawit (CPO) Naik Berdasarkan laporan keuangan delapan emiten yang telah merilis kinerja 2019, empat emiten memiliki rasio likuiditas di atas 100%, sedangkan empat lainnya di bawah 100%. Perhitungan ini didapat dengan membandingkan jumlah utang jangka pendek dengan total aset lancar yang dimiliki emiten. Secara rinci, PT Astra Agro Lestari Tbk (
AALI) memiliki rasio likuiditas 285%, PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (
SMAR) 108%, PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (
LSIP) 470%, dan PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT) 213%. Sementara itu, rasio likuiditas PT Salim Ivomas Pratama Tbk (
SIMP) 77%, PT Sampoerna Agro Tbk (
SGRO) 58%, PT Dharma Satya Nusantara Tbk (
DSNG) 82%, dan PT Provident Agro Tbk (
PALM) 95%. Saat dikonfirmasi,
Head of Investor Relations PT Sampoerna Agro Tbk Michael Kesuma menyampaikan, sejauh ini manajemen likuiditas
SGRO masih terbilang cukup terkendali. Untuk menghadapi kondisi pasar yang bergejolak,
SGRO akan memaksimalkan kinerja operasional. SGRO menargetkan produksi tandan buah segar (TBS) dari kebun inti dapat naik 5% dibanding tahun lalu yang sebanyak 1,1 juta ton. Sementara itu, produksi CPO diperkirakan akan sama seperti 2019, yakni sekitar 385.079 ton. Mengingat, produksi 2020 tidak bisa optimal karena efek cuaca kering yang terjadi pada 2019. "Fokus utama kami dalam kondisi sekarang ini, lebih cenderung dalam aspek memastikan adanya
business continuity plan supaya kegiatan usaha bisa terus berjalan dan disrupsi diminimalisasikan," kata dia saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (17/4).
SGRO juga berencana menerbitkan obligasi fase kedua pada akhir tahun 2020 apabila situasinya sudah memungkinkan. Sementara itu, Sekretaris Perusahaan SIMP Yati Salim mengatakan, untuk memenuhi kebutuhan kas demi melunasi utang yang jatuh tempo 2020, SIMP akan meningkatkan dana dari hasil usaha dengan mengerek penjualan dan efisiensi biaya. SIMP juga akan melakukan pembiayaan kembali sebagian utang bank yang akan jatuh tempo. Ini disampaikan dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Kamis (16/4).
Baca Juga: Meski Pasokan Turun, Potensi Penguatan Harga CPO Lebih Terbatas Kemudian, untuk meningkatkan penjualan dan profitabilitas di tengah harga komoditas yang tetap bergejolak pada 2020, SIMP bakal memprioritaskan investasi belanja modal pada aspek-aspek yang memiliki potensi pertumbuhan. Contohnya adalah melanjutkan kegiatan penanaman, baik penanaman baru maupun penanaman kembali untuk komoditas kelapa sawit. "Selain itu, SIMP akan meningkatkan kapasitas produksi melalui pembangunan satu pabrik kelapa sawit baru di Kalimantan Timur berkapasitas 45 ton TBS per jam yang diharapkan selesai pada tahun 2020 seiring dengan pertumbuhan produksi TBS dari area pengembangan baru," ungkap dia dalam keterangan tertulisnya. Emiten ini juga akan berfokus pada upaya pengendalian biaya dan pengembangan inovasi lainnya untuk meningkatkan produktivitas. "Pada Divisi Minyak dan Lemak Nabati, kami berupaya untuk meningkatkan penetrasi dan pangsa pasar, memperkuat rantai pasokan dan jaringan distribusi, serta merencanakan peningkatan kapasitas produksi," ucap Yati. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi