Panen tembakau, kantong petani masih batuk-batuk



JAKARTA. Banyak orang bilang menjadi petani tembakau hidupnya akan sejahtera. Harga yang tinggi dan jaminan penyerapan pasar membuat petani tembakau tak bingung memasarkan tembakau. Tapi, tak semua petani tembakau mengalaminya. Cuaca, harga dan mata rantai penjualan yang cukup panjang membuat petani tembakau seringkali gigit jariAbdurrachman, salah satu petani tembakau di kecamatan Pakusari, Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur mengaku tak berani menanami lahan sawah seluas 1 hektar miliknya dengan tembakau seluruhnya. Sudah 2 tahun ia hanya menanam tembakau seluas 0,5 hektar. Sedangkan sisanya ia tanami padi dan jagung. Pasalnya, perkiraan cuaca yang diberikan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) terbukti meleset. "Kami berhadapan dengan cuaca, yang harus menyesuaikan adalah diri kami, bukan cuacanya," ucapnya.Ia berujar, sepanjang tahun 2012 hingga pertengahan 2013, cuaca tak bersahabat dengan para petani. Curah hujan yang tinggi dan berlangsung sepanjang tahun membuat petani sakit kepala dan waswas. Kekhawatiran petani tembakau berlanjut kepada harga. Tahun 2011, harga tembakau di tingkat petani bisa mencapai Rp 45.000 per kilogram (kg). Sayang, tahun 2012, harga tembakau jatuh menjadi Rp 35.000 per kg. Meski harga tahun lalu tidak bagus, Aburrahman yang sudah menjabani profesi sebagai petani tembakau sejak 45 tahun lalu itu terbilang mujur. Tahun lalu ia mengantongi Rp 28 juta dari hasil panen tembakau.Abdurrachman mulai menanam tembakau sejak tahun 1986. Ketika itu jenis tembakau yang ditanam adalah jenis na oost. Pengalaman bapak dua anak selama puluhan tahun ini menjadikan dia mampu bertahan di tengah permainan para tengkulak. Meski menjadi tulang punggung industri tembakau, petani berada di lapis terbawah dalam tata niaga tembakau. Posisi tawar mereka paling lemah.Mata rantai tembakau yang cukup panjang, diakuinya merugikan petani. Karena, peluang petani untuk mendapatkan harga tinggi makin tipis saja. "Dari petani ke belandang kecil, kemudian ke belandang besar, baru ke pengepul. Nanti dari pengepul baru dijual ke pabrik," terangnya.Tak puas dengan harga di tingkat tengkulak, Abdurrahman berusaha menembus sendiri jalur penjualan ke pabrik. Ia memulai negosiasi dengan pabrik, tahun 2004. Dua tahun kemudian, ia meraih hasilnya. Saat ini, tembakau miliknya diserap oleh empat pabrik rokok besar, di antaranya PT HM Sampoerna Tbk, PT Djarum dan PT Gudang Garam Tbk. Salah satu kiatnya adalah, Abdurrachman berhasil menjanjikan hasil sesuai selera masing-masing produsen rokok tersebut.Dengan menyasar langsung pembeli akhir, ia mendapatkan tambahan hasil penjualan yang tadinya hilang akibat melewati proses panjang tata niaga tembakau sebelumnya. "Andai sebelumnya jual Rp 50.000, sekarang bisa dapat Rp 70.000. Bayangkan jumlah yang didapat tiga pihak tadi padahal mereka tidak ikut bekerja," cetusnya.Kebanyakan, petani terkendala dengan modal. Sedangkan para tengkulak dan pengepul itulah yang mampu menyediakan modal. Mau tak mau petani harus menjual kepada mereka. Makanya, ia berharap kepada pemerintah supaya bisa memotong mata rantai tembakau. Supaya, petani bisa menjual tembakau langsung ke pabrik. Dengan demikian, petani tembakau juga bisa sejahtera.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Fitri Arifenie