Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera menggelar debat calon presiden jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Pada debat putaran kedua yang akan berlangsung pada 17 Februari 2019 mendatang bakal mengangkat tema yang sangat strategis dan fundamental yakni pangan. KPU menyadari kelangsungan hidup sebuah bangsa tidak terlepas dari persoalan pangan dan calon pemimpin negara harus melek dengan kebutuhan rakyat yang paling mendasar ini. Lantas, apa tantangan yang dihadapi anak bangsa saat ini? Setelah berusia 73 tahun, Indonesia menghadapi penjajahan baru di bidang ekonomi dan budaya. Hampir semua bidang Indonesia terpuruk! Jika Presiden terpilih tidak siap, penjajahan baru ini akan semakin kuat mencengkram. Pasalnya, di era digital seperti ini, penjajahan baru ini akan diformat dalam bingkai revolusi industri 4.0 (RI 4.0). Industri yang mengusung kecerdasan buatan, data raksasa, internet of/for things, teknologi finansial dan ekonomi, serta robotisasi telah mendisrupsi berbagai inovasi sebelumnya.
Kita sedang menghadapi era disrupsi yang mengusung perubahan fundamental dan mendasar (the great shifting). Mesin pendorongnya adalah perkembangan teknologi digital yang mengubah semua tatanan kehidupan manusia. Masyarakat mengalami efek disrupsi dengan berbagai fenomena yang mengindikasikan menurunnya semangat nasionalisme. Kita tidak lagi bangga dengan produk dalam negeri sehingga Indonesia harus mengalami krisis pangan lokal yang berkepanjangan. Di era RI 4.0, energi politik pangan pemerintah tidak lagi terkuras mengurusi pangan di sektor hulu. Seharusnya di era RI 1.0 yang dicirikan tumbuhnya mekanisasi dan energi berbasis uap dan air; RI 2.0 yang dicirikan berkembangnya energi listrik dan produksi massal; RI 3.0 yang dicirikan tumbuhnya industri berbasis elektronika, teknologi informasi, serta otomatisasi sudah meletakkan pilar produksi pangan secara kukuh. Kenyataannya, pilar ini makin rapuh sehingga mendorong harga pangan kian mahal dan keran impor pangan dibuka lebar. Swasembada beras sudah terlanjur dianggap sebagai basis ketahanan pangan dan ditempatkan menjadi landasan politik beras murah yang digelar pemerintah dari masa ke masa. Implikasinya, konsumsi beras naik dahsyat. Mengkristalnya beras sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia, menjadi bukti bahwa hingga di era RI 4.0 ini masyarakat masih menganut paradigma lama, yakni makan identik dengan menyantap nasi. Seseorang mengatakan belum makan meski sudah menyantap semangkuk bubur jagung. Konon, kesuksesan swasembada beras yang pernah dicapai membawa konsekuensi bias terhadap apresiasi publik terhadap pangan lokal. Singkong, ubi jalar, sagu, dan sorgum menjadi komoditas inferior yang mempunyai nilai sosial rendah, sebab jika dikonsumsi dianggap orang miskin. Lantas, ketika ada sejumlah orang mengonsumsi tiwul berbahan baku singkong, mereka disebut mengalami krisis pangan dan kelaparan. Pemahaman ini menjadi ganjalan perwujudan diversifikasi konsumsi pangan nonberas berbasis sumber daya lokal. Hal ini tentu menjadi tantangan baru mengingat potensi pangan lokal yang sangat besar ini belum dibangkitkan sebagai pilar kedaulatan pangan guna memerangi kelaparan dan gizi buruk. Dari data yang pernah dipublikasikan Kementerian Pertanian (Kemtan), ketersediaan energi per kapita telah mencapai 2.912 kkal (kilokalori) dan protein 77 gram per kapita per hari, melampaui angka yang direkomendasikan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi ke-10 (2012) sebesar 2.400 kkal dan 63 g per kapita per hari. Namun, kinerja pangan yang terus membaik ini tidak mencerminkan kondisi serupa di tingkat rumah tangga. Sejumlah hasil kajian menunjukkan bahwa ketersediaan energi yang cukup secara nasional terbukti tidak bisa menjamin perwujudan ketahanan pangan tingkat wilayah (regional), rumah tangga dan individu. Jumlah proporsi rumah tangga yang mengalami defisit energi di setiap provinsi masih terjadi dengan selisih yang besar. Ketersediaan energi aktual yang melimpah di tingkat makro tidak mengalir ke rumah tangga yang membutuhkan. Pasalnya, ketersediaan pangan yang meningkat belum diikuti membaiknya daya beli masyarakat. Peta jalan RI 4.0 telah diluncurkan Kementerian Perindustrian (Kemperin) dalam kemasan Making Indonesia 4.0. Revolusi industri keempat ini menjadi lompatan kuantum (quantum leap) di bidang pangan, yang mau tidak mau harus mengadopsi perkembangan internet of/for things (IoT) dan big data. Pertanyaannya, apakah industri pangan lokal mampu beradaptasi?. Menghadapi serbuan pangan impor yang diproduksi di negara-negara maju yang sudah mengadopsi RI 4.0 secara baik, pelaku industri pangan lokal pasti terseok-seok. Untuk itu, dalam memudahkan implementasi RI 4.0, diperlukan koordinasi yang kuat antara pemerintah dengan pelaku industri untuk mewujudkan pertumbuhan dan peningkatan daya saing berbagai pangan lokal. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pangan impor. Perkembangan menarik misalnya terdapat pada pola konsumsi pangan pokok sumber karbohidrat. Tren penurunan kontribusi energi dari jagung, sagu, dan umbi-umbian terjadi seiring peningkatan pendapatan masyarakat. Semakin tinggi pendapatan, semakin sedikit konsumsi pangan lokal non-beras. Bahkan, fenomena menarik terjadi pada konsumsi pangan pokok untuk kelompok masyarakat berpendapatan rendah, terutama di perdesaan yang kian berpusat pada beras dan bahan pangan berbasis tepung terigu, khususnya mi instan dan roti. Suatu komoditas pangan akan masuk ke dalam pola konsumsi apabila memiliki kontribusi energi sekurang-kurangnya 5% terhadap total konsumsi energi. Semakin banyak pangan yang memiliki kontribusi energi di atas 5% akan semakin beragam pola konsumsi. Terigu dan hasil olahannya menyumbang energi secara signifikan bukan hanya pada rumah tangga berpendapatan tinggi, tetapi juga pada rumah tangga berpendapatan menengah ke bawah. Perubahan ini yang perlu diwaspadai karena gandum adalah komoditas impor dan tidak diproduksi di Indonesia, sehingga pola konsumsi ini dapat menimbulkan ketergantungan pangan impor.
Untuk itu, kebangkitan pangan lokal patut dijadikan tema utama di era revolusi industri 4.0 di bidang teknoagroindustri pangan berbasis sumber daya wilayah untuk mencegah ketergantungan pada satu jenis pangan. Meski Indonesia dikenal memiliki beragam makanan pokok, dalam artian beras dan terigu memang bukan makanan utama untuk sebagian masyarakat, percepatan diversifikasi konsumsi pangan harus terus dilakukan. Sekadar menyebut contoh, di Papua, yang dulu memiliki makanan pokok sagu, saat ini diperkirakan sekitar 80% penduduknya sudah makan beras, 15% makan ubi, dan tinggal 5% makan sagu. Padahal, Papua dikenal sebagai kantung sagu dunia karena bisa memasok makanan berbasis sagu (papeda) bagi seluruh negeri.•
Posman Sibuea Guru Besar Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi