Pangan Lokal Nusantara Dinilai Mampu Gantikan Terigu Impor



KONTAN.CO.ID - Jejak pangan Nusantara tidak bisa dilepaskan dari lintasan panjang sejarah manusia dan kebudayaan. Research Director CS-IFA Repa Kustipia menjelaskan, gastronomi sejatinya merupakan ilmu yang mempelajari pangan sekaligus budaya yang menyertainya. Dalam konteks Nusantara, pembacaan gastronomi berarti menelusuri kembali etno pangan, yakni pangan asli etnis-etnis yang hidup dan berkembang sejak masa prasejarah.

Menurut Repa, fase awal pangan Nusantara bermula dari era pemburu dan peramu. Talas atau Colocasia esculenta menjadi contoh pangan purba yang hingga kini masih dikonsumsi. Perjalanan itu berlanjut ke fase neolitik, ketika manusia mulai mengenal budidaya, lalu masuk ke fase hidrolik dengan sistem irigasi besar-besaran yang membentuk pola pangan agraris. Perubahan signifikan terjadi pada masa penjelajahan dan perdagangan maritim, saat rempah-rempah Nusantara menjadi komoditas global dan memicu monopoli dagang.

“Ketika topiknya adalah melacak jejak pangan Nusantara, maka kita ada flashback ke fase-fase etnopangan. Etnopangan itu adalah pangan aslinya etnis-etnis yang ada di seluruh dunia, termasuk di Indonesia yang paling banyak,” jelas Repa dalam diskusi Kompasiana bertajuk Perspektif: Melacak Jejak Pangan Nusantara di Studio 2 Kompas TV, Jakarta, pada Kamis (18/12/2025).


Dalam diskusi yang dihadiri oleh akademisi dan pakar entomologi Dr. Ir. Dadan Hindayana, Kepala Riset Hortikultura dan Perkebunan BRIN, Dr. Dra. Dwinita Wikan Utami, M.Si., CEO KG Media Andy Budiman, Dian Gemiano Chief Marketing Officer of KG Media, Heru Margianto COO Kompasiana, dan pimpinan KG Media ini, Repa menyebut kolonialisme membawa sistem pangan yang mengubah struktur produksi dan konsumsi.

Akulturasi terjadi. Namun, di saat yang, sama pangan lokal kerap terpinggirkan. Revolusi industri kemudian memperkenalkan teknologi pangan modern dan menguatkan dominasi komoditas tertentu, seperti beras dan roti. Kondisi ini memicu kritik peradaban modern dan melahirkan gerakan kembali ke pangan regeneratif, yang kini mulai terlihat dari tren pangan tradisional yang dihidupkan kembali.

Repa menilai, saat ini gastronomi Nusantara berada pada fase technofood dan ekonomi pangan digital. Masyarakat menikmati nasi ulam, sate Padang, atau nasi kuning melalui aplikasi daring, menandai cara baru mengakses pangan tradisional. Setelahnya, muncul fase glokalisasi, di mana pangan lokal berinteraksi dengan sistem global, seperti tempe yang diproduksi secara lokal namun bergantung pada kedelai impor.

Etnopangan Indonesia juga dipengaruhi oleh kebijakan dan hukum, mulai dari Kutara Manawa Dharma Sastra pada era Majapahit, tanam paksa kolonial, hingga Undang-Undang Pangan dan keterlibatan Indonesia dalam perdagangan global. Dampaknya terlihat pada stabilitas agraris, orientasi ekspor, modernisasi pertanian, serta munculnya wacana pangan masa depan atau novel food.

Tantangan berikutnya adalah bagaimana mengajak generasi muda kembali menghargai pangan lokal. Repa mencontohkan jamu sebagai warisan kuliner yang perlu diposisikan sebagai budaya kesehatan, serta pecel yang bisa diperkenalkan sebagai konsep farm to table khas Indonesia. Di Indonesia Timur, sagu menjadi simbol pangan non-padi yang potensial, bahkan untuk dikembangkan sebagai pangan masa depan.

Ia menekankan, pendekatan kepada Gen Z perlu bersifat futuristik. Pangan lokal dapat dikaitkan dengan isu keberlanjutan, sistem pangan sirkular, hingga peluang pangan antariksa. Dengan cara itu, jejak pangan Nusantara tidak hanya dirawat sebagai warisan masa lalu, tetapi juga diproyeksikan sebagai bagian dari masa depan.

Oleh karenanya, Repa mendorong pemanfaatan farm to table dan culinary medicine atau wellness culture untuk mendorong pemanfaatan pangan yang lebih menyeluruh dan dibuat dari bahan baku lokal. Ia mencontohkan jamu dan pecel.

“Jamu itu harus dipromosikan sebagai culinary medicines atau wellness culture. Artinya ada kesehatan budaya gitu di situ, warisan Jawa. Karena jamu satu-satunya yang bisa kita nikmati dari akar, rempahnya, kemudian daun, dan bunga itu plek ketiplek semua dimasukin,” lanjut Repa.

“Katakan bahwa pecel itu adalah farm to table-nya Indonesia. Jadi bukan salad. Ketika ngomongin pecel, this is the farm to table-nya Indonesia. Itu kan jadi keren,” tegas Repa.

Selanjutnya: Statistik Gol Mohamed Salah Dibanding Para Legenda Liverpool

Menarik Dibaca: Berlibur ke Dubai, Ini 5 Tradisi Uni Emirat Arab yang Wajib Diketahui

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News