Pangkas subsidi BBM via regulasi sektor otomotif



JAKARTA. Pemerintahan baru di bawah komando Jokowi-JK didorong untuk melakukan regulasi di sektor otomotif. Tujuannya, untuk mengurangi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) secara signifikan. Regulasi itu menyangkut persyaratan komposisi kendaraan yang dihasilkan berdasarkan jenis bahan bakar yang digunakan.

“Upaya menaikkan harga BBM subsidi menjadi polemik hampir setiap tahun karena akar masalahnya tidak pernah terselesaikan,” ujar pengamat ekonomi dari Universitas Sam Ratulangi Manado Agus Tony Poputra dalam siaran persnya, Kamis (18/9).

Secara teoritis, kata dia, saat harga BBM dipatok di bawah harga pasar, maka akan terjadi kelebihan permintaan (excess demand) yang ditanggulangi pemerintah dengan menambah suplai melalui subsidi. Jika semakin lebar perbedaan harga pasar dengan harga subsidi, maka excess demand semakin melebar pula. Akibatnya, penambahan suplai dengan kuota yang ada tidak mencukupi kebutuhan masyarakat.


Menurut dia, untuk mengatasi excess demand dengan jangkauan waktu lebih panjang, sisi permintaan  BBM subsidi seharusnya dikurangi lewat penggunaan bahan bakar alternatif yang tepat. Untuk itu perlu dikaji pemakai BBM subsidi terbesar saat ini. Pasalnya, data pemerintah mencatat, sebanyak 93% BBM subsidi digunakan oleh kendaraan pribadi, sehingga Gas dan Listrik menjadi pengganti terdekat bagi BBM subsidi.   

Regulasi otomotif

Agus melanjutkan, penggunaan kedua bahan bakar alternatif tersebut secara bersamaan cukup sulit direalisasikan bila hanya lewat tindakan persuasif. Hasil efektif diperoleh jika pemerintah membuat regulasi pada Sektor Otomotif yang mewajibkan produsen kendaraan bermotor memproduksi kendaraan bermotor dengan komposisi tertentu berdasarkan jenis bahan bakar.

“Produsen wajib memproduksi dan menjual kendaraan bermotor yang berbahan bakar non BBM dengan persentase tertentu, misalnya 40 persen dari total produksinya,” ungkap Agus.

Ia menambahkan, saat bersamaan Pertamina diwajibkan menambah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) secara massif. Tujuannya, agar kebijakan tersebut menjadi efektif karena pembeli kendaraan bermotor akan keberatan membeli kendaraan berbahan bakar gas jika di daerahnya sulit ditemukan SPBG. Hal ini merupakan penyelesaian persoalan excess demand dan subsidi BBM dari hulu. Karena ke depan, permintaan BBM subsidi akan menurun akibat pengalihan bahan bakar oleh pemilik ke non-BBM. Dengan demikian, pemerintah dapat menurunkan kuota BBM subsidi ataupun menaikan harga BBM subsidi mendekati harga pasar dengan dampak negatif dan resistensi yang jauh lebih kecil.

Kontraproduktif mobil murah

Lebih jauh, Agus juga mengkritisi aturan pemerintah yang akan mewajibkan mobil murah dan ramah lingkungan (low cost and green car/LCGC) menggunakan BBM dengan oktan 92. Menurutnya, aturan ini berimplikasi terjadinya ketidakadilan vertikal, yaitu individu yang berpendapatan lebih rendah yaitu pengguna mobil murah harus membayar BBM lebih mahal dari pemakai mobil yang lebih mahal.

Selain itu, pada tataran praktik di lapangan, cukup sulit untuk melarang pemakai mobil murah menggunakan BBM subsidi karena pertimbangan keadilan tersebut sehingga subsidi BBM makin jebol. “Seharusnya, pemerintah mengarahkan mobil murah menggunakan bahan bakar non BBM seperti listrik dan gas,” tandas Agus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto