Panja pemberantasan perusakan hutan terbelah jadi dua kubu



JAKARTA. Panitia kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemberantasan Perusakan Hutan terbagi menjadi dua kubu. Mulai banyak anggota yang tidak menyetujui pembentukan badan independen yang khusus mengurusi soal penindakan hukum perusakan hutan. Anggota Panja Komisi IV DPR Anthon Sihombing menilai, masalah perusakan hutan tidak perlu diselesaikan lewat pembentukan badan baru. "Kalau setiap ada masalah buat badan, bisa habis uang republik ini," ucapnya pada rapat Panja dengan Kepala Polisi Republik Indonesia Timur Pradopo dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi E.E. Mangindaan, Selasa (5/7). Menurut Anthon, untuk menindak persoalan perusakan hutan tidak perlu hingga membentuk badan khusus yang berstatus independen. "Gampang saja sebenarnya. Tinggal dilihat siapa pemiliknya kebun sawitnya, siapa pemilik HPH (hak pengusahaan hutan), kan ada izinnya," kata dia. Sehingga, pembentukan badan baru itu tidak krusial terutama lantaran Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan telah mengatur tentang hal itu. "Terus terang saya tidak setuju pembentukan badan ini, mudah-mudahan fraksi saya sependapat," paparnya. Hal senada diungkapkan anggota Panja Komisi IV DPR Markus Nari. Dia mengatakan, apabila polisi memiliki tindakan tegas untuk mengatasi hal itu maka seharusnya tidak perlu ada pembentukan badan baru. Sayangnya, banyak kasus perusakan hutan, di Sulawesi Selatan misalnya, yang mendapat dukungan dari oknum polisi. "Kalau ini bisa diselesaikan oleh Polri, seharusnya tidak perlu bangun badan, bangun kantor, biaya lagi, dan merepotkan Menpan juga," tutur dia. Namun, anggota Panja Komisi IV Djoko Djianto Udjianto menilai, keberadaan badan itu sangat diperlukan lantaran modus perusakan hutan sudah beralih ke pola izin pinjam pakai. "Jadi skalanya sudah jadi kejahatan luar biasa. Sudah merusak sektor lain dan sudah transnasional," kata Djoko. Anggota Panja lainnya, Adiyaman Amir Saputra membenarkan, pembalakan liar memberikan dampak luas sehingga perlu ditindak secara hukum oleh lembaga yang independen. Hal tersebut, ujar dia, bertambah parah akibat praktek otonomi daerah yang memberikan peluang bagi kepala daerah menggunakan wewenangnya menerbitkan izin pemakaian lahan hutan. Hal senada diungkapkan Honing Ardy. Dia mengutarakan, pentingnya meloloskan RUU itu karena Polri dianggap belum dapat mengatasi masalah pembalakan liar itu. Apalagi, banyak kasus perusakan hutan yang justru dibantu oleh oknum polisi. Sementara itu, Kepala Polisi Republik Indonesia Timur Pradopo menilai, untuk menjadikan perusakan hutan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) membutuhkan kajian mendalam dan ditetapkan melalui undang-undang. Sejauh ini, permasalahan yang telah berstatus kejahatan luar biasa hanya korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terorisme yang ditangani Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) skala berat yang ditangani Komisi Nasional HAM. "Kalau masalah ini masuk kejahatan luar biasa berarti nanti ada badan lagi gitu. Kami pikir ini perlu beberapa kajian," tanyanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Djumyati P.