KONTAN.CO.ID - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) baru-baru ini memperbarui daftar patogen global yang berpotensi menyebabkan epidemi atau pandemi. Pembaruan yang termaktub dalam dokumen bertajuk “WHO R&D Blueprint for Epidemics: Pathogens Prioritization, A Scientific Framework For Epidemic And Pandemic Research Preparedness” ini telah dipublikasikan pada 30 Juli 2024. Dokumen tersebut menekankan pentingnya kesiapsiagaan, kolaborasi, dan kerja sama internasional dalam mempercepat penelitian dan pengembangan tindakan penanggulangan medis untuk menangani ancaman epidemi dan pandemi di masa depan. Upaya-upaya itu harus diarahkan melalui peningkatan deteksi, pemantauan, dan respons terhadap wabah penyakit menular. Kepala Pusat Kebijakan Kesehatan Global dan Teknologi Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Bonanza Perwira Taihitu mengatakan, Indonesia aktif berperan dalam memperkuat sistem kesiapsiagaan global untuk menghadapi ancaman penyakit menular baru, khususnya saat memimpin G20.
Hal ini sejalan dengan upaya kesiapsiagaan di tingkat global dan nasional untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons (Prevention, Preparedness and Response/PPR) menghadapi pandemi yang mungkin terjadi kapan saja. “Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan telah melakukan identifikasi patogen prioritas yang berasal dari satwa liar. Proses ini melibatkan para pakar nasional dan internasional termasuk dari WHO, baik di tingkat regional maupun global,” kata Bonanza di Jakarta, ditulis Jumat (30/8). “Terkait patogen prioritas, setiap negara memiliki daftar prioritas patogen yang disusun berdasarkan situasi epidemiologi masing-masing, yang kemudian diselaraskan dengan panduan global yang diberikan oleh WHO.” Dari hasil identifikasi patogen yang dilakukan oleh Kemenkes RI, daftar patogen prioritas yang disusun sesuai dengan identifikasi WHO, sementara beberapa prioritas lainnya ditentukan berdasarkan kondisi epidemiologi lokal. “Daftar prioritas ini mencakup berbagai famili virus dan bakteri yang menjadi perhatian utama. Famili virus yang menjadi patogen prioritas di Indonesia adalah famili Coronaviridae, (seperti SARS CoV), famili Orthomyxoviridae (termasuk Influenza H5N1), famili Paramyxoviridae (seperti Measles dan Nipah),” terang Bonanza. “Kemudian, famili Flaviviridae (misalnya, Dengue, Zika), famili Filoviridae (misalnya, Ebola, Marburg), famili Bunyaviridae (misalnya, Hanta), famili Togaviridae (misalnya, Chikungunya), famili Rhabdoviridae (misalnya, Rabies), famili Poxviridae (misalnya, Mpox), dan famili Retroviridae (misalnya, HIV).” Menurut Bonanza, patogen prioritas dari famili virus di atas juga menjadi bagian dari perhatian WHO dalam daftar prioritasnya. Ada pula famili bakteri yang diidentifikasi sebagai kelompok patogen yang perlu menjadi perhatian. “Untuk yang bakteri prioritas WHO, khususnya berhubungan dengan resistensi antimikroba (Antimicrobial resistance/AMR) mencakup famili Enterobacteriaceae (misalnya, Salmonella, E. coli), famili Mycobacteriaceae (MTB Complex), famili Bacillaceae (Anthrax), famili Staphylococcaceae (Staphylococcus aureus), famili Neisseriaceae (N. Gonorrhoeae, N. Meningitidis), dan famili Campylobacter Aceae (Campylobacter),” lanjutnya. “Familia bakteri lain masuk dalam daftar prioritas yang dipantau, yakni famili Pseudomonadaceae (Pseudomonas), famili Leptospiraceae (Leptospira), Famili Vibrionaceae (Vibrio cholerae), dan famili Yersiniaceae (Y. pestis).” Patogen-patogen ini berkaitan erat dengan berbagai spesies satwa seperti kelelawar (Chiroptera), primata, rodent, dan burung (Aves), yang sering menjadi inang dan vektor penyebaran penyakit. Kesiapsiagaan di Tingkat Nasional Kemenkes akan mengoptimalkan daftar patogen prioritas, baik virus maupun bakteri, yang diidentifikasi sebagai upaya meningkatkan kesiapsiagaan di tingkat nasional, termasuk ketersediaan vaksin, obat-obatan, dan upaya penanggulangan lainnya. “Identifikasi prioritas ini juga memperkuat surveilans rutin yang dilakukan salah satunya melalui program ILI (Influenza-like Illness) dan SARI (Severe Acute Respiratory Infections), serta pemanfaatan laboratorium kesehatan masyarakat (labkesmas),” ujar Bonanza Perwira Taihitu. Saat ini, labkesmas tingkat 2 sudah tersebar di 232 kabupaten/kota di Indonesia, sementara labkesmas tingkat 3 tersebar di 30 provinsi. Selain itu, terdapat 2 labkesmas tingkat nasional dengan satu laboratorium yang memiliki fasilitas Biosafety Level 3 (BSL-3) di Balai Besar Laboratorium Biologi Kesehatan, Jakarta. “Diharapkan dengan adanya identifikasi ini, akan meningkatkan kewaspadaan semua pihak serta memperkuat aliran informasi dan sistem peringatan dini terhadap situasi yang berkembang di wilayah masing-masing,” sambung Bonanza. Dalam hal kesiapsiagaan kesehatan, Pemerintah Indonesia juga menerapkan pendekatan One Health yang menekankan pentingnya kerja sama lintas sektor antara kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan untuk mengatasi tantangan kesehatan secara komprehensif secara kesehatan dan terpadu. Pendekatan ini sejalan dengan rekomendasi WHO, Food and Agriculture Organization (FAO), dan World Organisation for Animal Health (WOAH). Selain fokus pada patogen prioritas, pemerintah juga terus melakukan pemantauan penyakit infeksi emerging yang sangat berpotensi dan dapat menimbulkan kedaruratan kesehatan. Beberapa penyakit yang dimaksud seperti Mpox, COVID-19, Middle East Respiratory Syndrome (MERS), dan Avian Influenza (H5N1, H5N6, H9N2).
Direktur Surveilans dan Kekarantinaan Kesehatan dr. Achmad Farchanny Tri Adryanto, M.K.M menegaskan, pemetaan risiko penyakit infeksi emerging sangat penting dilakukan oleh daerah. Apalagi, masih banyak daerah yang belum memiliki peta risiko penyakit infeksi emerging. “Oleh karena itu, dinas kesehatan bersama pemangku kepentingan yang terkait perlu melakukan pemetaan risiko dan membuat rekomendasi tindak lanjut yang perlu dilakukan bersama untuk meningkatkan kewaspadaan dan respons terhadap potensi risiko munculnya penyakit infeksi emerging di daerahnya,” tegasnya.
Baca Juga: Tidak Ada Istilah Medis Detoksifikasi Vaksin COVID-19 Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti