Para Pelaku Industri TPT Mengkritik Rencana Impor Produk dari Bangladesh



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Para pelaku industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menolak pembukaan impor garmen dari Bangladesh demi memuluskan langkah Indonesia untuk mengekspor Crude Palm Oil (CPO) ke negara tersebut. Hal ini tertuang dalam Indonesia Bangladesh Preferential Tariff Agreement (IB-PTA).

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menyampaikan, industri TPT merasa dikorbankan tatkala ada rencana pembukaan impor garmen dari Bangladesh yang tentu bertolak belakang dengan kebijakan safeguard yang selama ini dijalankan pemerintah.

Padahal, industri TPT termasuk sektor industri yang mampu merangkul para pelaku IKM maupun masyarakat kelas menengah ke bawah sebagai pekerjanya. Terdapat lebih dari 5 juta pekerja dan ribuan pengusaha IKM yang terlibat dalam ekosistem industri TPT dari hulu hingga hilir.


“Pengaruh IB-PTA jika diterapkan akan berdampak pada seluruh rantai nilai tekstil dari hulu ke hilir. Pemerintah berpotensi kehilangan banyak pemasukan dari PPN, PPH, termasuk iuran BPJS,” ungkap Redma dalam konferensi pers virtual, Selasa (8/3).

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) David Leonardi menilai, pemerintah seharusnya melindungi para pelaku industri TPT domestik dan meningkatkan daya saingnya terhadap produk-produk asing.

Baca Juga: Kenaikan Harga Minyak Bisa Memberi Tekanan Industri Tekstil dan Produk Tekstil

Sejauh ini, ekosistem industri TPT Indonesia masih tertinggal dibandingkan Bangladesh. Upah tenaga kerja di Bangladesh relatif lebih murah dengan level jam kerja yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Bangladesh juga memiliki akses terhadap bahan baku impor yang lebih strategis, karena bisa menjangkau negara seperti China dan India melalui jalur darat.

Di samping itu, harga gas industri di Bangladesh hanya di kisaran US$ 3—US$ 4 per MMBTU. Angka ini lebih murah dibandingkan harga gas industri di Indonesia yang berada di level US$ 6 per MMBTU untuk industri hulu TPT dan US$ 9 per MMBTU untuk industri hilir TPT.

Nilai ekspor garmen Bangladesh pun mencapai US$ 36,13 miliar pada 2020 atau tertinggi kedua di dunia setelah China yang memiliki nilai ekspor US$ 124,59 miliar di tahun yang sama. Adapun Indonesia hanya mampu mengekspor garmen sebesar US$ 6,98 miliar.

“Level playing field industri TPT Bangladesh dan Indonesia sangat berbeda. Kita masih harus membenahi daya saing di dalam negeri terlebih dahulu,” terang dia dalam kesempatan yang sama, kemarin.

Ketua Umum Perkumpulan Pengusaha dan Perlengkapan Bayi (P4B) Roedy Irawan menambahkan, produk pakaian bayi impor masih marak beredar di Indonesia, baik secara online maupun offline. Rencana pembukaan keran impor garmen dari Bangladesh tentu akan semakin memberatkan pelaku usaha pakaian bayi di dalam negeri yang mayoritas merupakan pelaku IKM.

Pelaku usaha pakaian bayi pun sudah merasakana tekanan terhadap bisnisnya semenjak kemunculan pandemi Covid-19. Penjualan pakaian bayi di berbagai pasar grosir mengalami tren penurunan selama pandemi. Padahal, potensi pasar pakaian bayi masih sangat besar seiring tingkat kelahiran di Indonesia yang tergolong tinggi.

“Mayoritas pakaian bayi itu dibuat oleh pelaku IKM. Kalau tidak ada order, kami akan sangat dirugikan,” tukas dia.

Baca Juga: Fasilitas Restrukturisasi Kredit bagi Industri Tekstil

Senada, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung (IPKB) Nandi Herdiaman menyebut, pihaknya turut dirugikan apabila impor garmen dari Bangladesh benar-benar dibuka. Selama ini, para pelaku industri TPT tidak bisa sembarangan menaikkan harga jual, karena dikhawatirkan akan kalah saing dengan produk impor yang dibanderol murah.

Ketika produk pakaian jadi dijual dengan harga murah, maka dipastikan harga jasa konveksinya juga murah. Hal ini mempengaruhi minat masyarakat untuk bekerja di bidang konveksi karena dinilai kurang menguntungkan dari segi upah.

“Kami sebenarnya sudah mulai mendapat beberapa order jelang Ramadan, tapi kekurangan tenaga kerja untuk mengejar target produksi,” pungkas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi