KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan organisasi masyarakat (Ormas) keagamaan mendapatkan izin pengelolaan tambang di dalam negeri atau IUP menuai kontroversi. Untuk diketahui, pemerintah telah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024 sebagai perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Presiden Jokowi telah menandatangani perubahan ini pada Kamis (30/05) dan telah menyisipkan pasal 83A di antara pasal 83 dan 84 yang mengatur tentang penawaran wilayah izin usaha pertambangan khusus atau WIUPK yang berbunyi sebagai berikut:
Baca Juga: Ormas Dapat Jatah IUP, Pengamat: Tata Kelola Industri Pertambangan Alami Kemunduran “Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan,” bunyi Pasal 83A ayat 1. Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli menilai, PP No. 25 Tahun 2024 yang merupakan revisi dari PP 96 Tahun 2021 yang memberikan prioritas kepada organisasi keagamaan untuk memiliki IUP Tambang hasil relinguishment dari PKP2B. "Hal ini kami nilai bertentangan dengan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mensyaratkan relinguishment PKP2B akan diprioritaskan utk dilelang kepada BUMN dan BUMD," kata Rizal kepada KONTAN, Jumat (31/5). Setelah BUMN dan BUMD, kata Rizal, kemudian baru dilelang kepada swasta apabila BUMN dan BUMD tidak berminat.
Baca Juga: Ormas Keagamaan dapat Jatah IUP Tambang, Begini Respon IMA Menurut Rizal, Ormas ini termasuk ke dalam golongan swasta yang harus memenuhi semua persyaratan. Tidak bisa langsung diberikan kepada Ormas tanpa lelang. Dalam proses lelang ini, ada hak negara berupa PNBP dari KDI atau Kompensasi Data dan Informasi. "Kalau tidak dilelang tentu saja ada potensi kerugian negara dalam proses ini. Di samping itu dikhawatirkan PP ini bisa menjadi polemik dan ada kemungkinan diajukan judicial review oleh masyarakat," ungkapnya. Senada, Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi memandang bahwa keputusan memberikan IUP kepada Ormas keagamaan tidak tepat dan blunder. Sebab, kata Fahmy, Ormas keagamaan tidak mempunyai kapabilitas dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi komoditas pertambangan. Selain itu, dana untuk investasi untuk pertambangan pun tidak sedikit.
Baca Juga: Bahlil Lahadalia Janji Bakal Beri PBNU IUP Tambang "Saya perkirakan Ormas mendapatkan IUP ini hanya akan berperan sebagai makelar atau broker yang akan dijual kepada pengusaha tambang lainnya saja," kata Fahmy kepada KONTAN, Minggu (2/6). Fahmy menyarankan akan lebih baik dan tidak berisiko untuk diberikan profitability index (PI) 10% dari hasil tambang. Misalnya, pengusaha tambang yang baru diwajibkan untuk memberikan 10% profit kepada Ormas keagamaan, seperti yang dilakukan oleh Freeport memberikan 10% profit kepada Pemerintah Daerah Papua. "Itu jauh lebih rendah risikonya daripada memberikan IUP," ujar Fahmy. Menurut Fahmy, apabila Ormas keagamaan mengolah pertambangan akan dikhawatirkan karena dunia pertambangan yang kotor, adanya tambang ilegal dan permainan kotor. "Saya khawatir Ormas keagamaan tersebut akan bermain dalam ruang kotor," pungkasnya.
Baca Juga: PP Sudah Diteken Jokowi, Ormas Keagamaan Dapat Jatah Izin Usaha Tambang Sebelumnya, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Fahrur Rozi atau Gus Fahrur menuturkan, rencana tersebut bagus apabila ormas yang betul-betul mengakar di masyarakat mendapat bagian IUP, agar dapat dipergunakan untuk pemberdayaan warganya. Sebab, hal tersebut membantu pemerintah mempercepat kemajuan di bidang pendidikan, dakwah, dan kesejahteraan ummat. "Namun, tetap harus selektif dan benar-benar ormas yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Adapun teknisnya bisa disesuaikan dengan UU yg berlaku dengan berbagai inovasi dan kemudahan. Semua tetap dalam koridor aturan untuk kemaslahatan rakyat," kata Fahrur saat dihubungi KONTAN, Selasa (16/4). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto