Paranoia Karena Ahok



KONTAN.CO.ID - Bergabungnya Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok di salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menuai pertentangan dari beberapa pihak. Bahkan, beberapa tokoh publik menolak dengan berbagai alasan.

Salah satu yang sering disuarakan adalah masih terkait dengan rekam jejak Ahok yang merupakan mantan narapidana kasus penistaan agama. Selain itu, ada yang menilai cara komunikasi Ahok yang frontal tidak tepat untuk berada di BUMN.

Pihak internal Pertamina (tempat Ahok jadi Komisaris Utama) melalui Serikat Pekerja Pertamina juga secara terang-terangan menolak Ahok di perusahaan milik negara INI. Secara umum penolakan tersebut selain karena Ahok pernah menghebohkan Indonesia dengan kasus penistaan agama, juga karena gaya komunikasinya yang menurut mereka kasar dan dapat menimbulkan kegaduhan.


Mereka membayangkan gaya kepemimpinan Ahok selama menjabat Gubernur DKI Jakarta akan dibawa ke Pertamina. Terngiangnya bayangan tampang Ahok pada saat memimpin ibu kota tentunya menimbulkan ketakutan bagi mereka yang menolak bahwa hal serupa akan terjadi di dapur BUMN ketika Ahok memimpin.

Ketakutan tersebut dirasa cukup wajar bagi mereka yang selama ini merasa nyaman terlelap dalam lingkungan kerja yang tenang, adem, tidak ada kegaduhan dan teriakan atas tidak profesional dalam bekerja yang terdengar publik. Segala kebusukan maupun wangi semerbak hanya menyebar dalam hidung mereka tanpa setitik pun lubang yang menyebar keluar. Keadaan tersebut tentunya berbeda jika Ahok memimpin degan gaya kepemimpinan lamanya. Indra penciuman publik akan menghirup dan melotot ke sana menyaksikan teriakan Ahok terhadap hal-hal janggal yang terjadi menurutnya.

Di sisi lain, reaksi ketakutan tersebut terlalu berlebihan sehingga terlihat hampir sama dengan gejala paranoid. Paranoid atau paranoia adalah suatu keadaan kejiwaan yang dihantui ketakutan dan kecemasan yang berlebihan terhadap orang atau sesuatu hal yang terjadi di luar diri dan merasa orang atau hal tersebut akan membahayakan dirinya. Padahal, hal tersebut belum tentu terjadi atau hanya sebuah delusi.

Psikiater dan Profesor dari Amerika Serikat (AS), Waldinger, Robert J. (1997) mendefinisikan paranoid sebagai suatu kondisi psikis yang ditandai dengan ketidakpercayaan dan kecurigaan berlebihan terhadap orang lain.

Reaksi penolakan yang didasari oleh ketidakpercayaan, kecurigaan atau mungkin ketakutan terhadap Ahok karena rekam jejaknya dianggap menyeramkan tidak jauh berbeda dengan gejala paranoia. Kegalakan Ahok ataupun statusnya sebagai bekas narapidana kasus penistaan agama belum tentu bahkan tidak ada kemungkinan yang bersifat mengancam atau membahayakan buruh atau serikat buruh BUMN, apalagi pihak di luar BUMN. Pasalnya, BUMN bukan jabatan publik sehingga kewenangan dan tanggungjawabnya hanya kepada BUMN.

Dalam kaitan pengangkatan menjadi komisaris. Ahok harus memenuhi standar prosedur yang hampir sama dengan pengangkatan direktur, dilihat dari tugas pokok dan fungsi (tupoksi) komisaris berdasarkan peraturan perundang-undangan, tidak ada celah yang bersifat mengancam atau membahayakan karyawan atau serikat buruh BUMN, apalagi pihak luar yang tidak ada ikatan keperdataan dengan BUMN.

Pasal 31 Undang-Undang (UU) No 19 Tahun 2003 tentang BUMN menggarisbawahi tugas komisaris BUMN adalah untuk mengawasi direksi dalam menjalankan kepengurusan BUMN serta memberikan nasehat kepada direksi. Konsekuensi logisnya yang terkena dampak atas gaya kepemimpinan Ahok yang tergambar menyeramkan ketika menjadi komisaris harusnya hanyalah direktur, bukan buruh atau serikat buruh apalagi orang lain di luar BUMN.

Bukan pejabat publik

Direksi dan komisaris BUMN bukan merupakan pejabat publik. Mereka terlahir dari hubungan keperdataan. Pasal 16 ayat (3) UU BUMN mengatur bahwa calon anggota Direksi (BUMN) yang telah dinyatakan lulus uji kelayakan dan kepatutan wajib menandatangani kontrak manajemen sebelum ditetapkan pengangkatannya sebagai anggota direksi. Tupoksinya pun semata-mata untuk memperlancar lajunya roda usaha BUMN untuk bisa mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan sebagaimana tujuan BUMN dalam UU BUMN.

Walaupun modal BUMN bersumber dari keuangan negara, tetapi pengelolaan dengan konsep yang terpisah. Karena bersumber dari keuangan negara, maka tujuan akhirnya tentunya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tetapi konsep dan mekanisme mengikuti konsep dasar korporasi. Artinya BUMN merupakan badan (corpus) yang terpisah dari negara sebagai pemegang saham. Konsep pemisahan ini setara dengan konsep personalitas perseroan pada umumnya.

Dalam konsep ini dikenal beberapa teori diantaranya teori fiksi (fictitious theory) dan teori realistik (realistic theory) yang pada intinya mendoktrinasi konsep pemisahan kepribadian hukum antara badan hukum (perusahaan) dengan indivualitas hukum pendirinya (M. Yahya Harahap, 2011).

Konsep dan mekanisme semacam ini tentunya ikut membatasi kewenangan dan tanggung jawab BUMN terutama direksi dan komisaris. Segala tindak-tanduk direksi dan komisaris selama dalam konteks menjalankan tugasnya sebagai organ BUMN hanya tunduk dan bertanggung jawab kepada mekanisme BUMN sesuai anggaran dasar maupun peraturan perundang-undangan terkait. Demikian pula dampak atas gaya kepemimpinan dan kinerjanya tidak langsung berhadapan dengan masyarakat umum layaknya pejabat publik.

Dalam konteks perilaku Ahok yang dinilai kasar, berpotensi membuat kegaduhan maupun rekam jejaknya sebagai mantan nara pidana kasus penistaan agama sangat tidak logis untuk dianggap mengancam atau membahayakan publik sebagaimana reaksi serikat buruh BUMN ataupun pihak lain yang menolak Ahok. Reaksi apalagi penolakan tersebut justru dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak karena membatasi hak Ahok untuk mendapat pekerjaan dan menjalin hubungan keperdataan dengan pihak lain.

Menurut penulis, sepanjang perilaku kepemimpian semacam Ahok dapat mempercepat pencapaian tujuan BUMN yaitu untuk mencapai keuntungan serta menjunjung tinggi integritas sebagai direksi dan dewan komisaris dengan tidak mengambil keuntungan pribadi dari penghasilan BUMN sebagaimana larangan UU BUMN, maka ketakutan, kecemasan dan penolakan pihak tersebut sangat tidak berdasar.

Pengangkatan Ahok menjadi petinggi BUMN tidak ada urgensinya untuk ditakuti apalagi sampai menimbulkan polemik antara pihak yang pro dan kontra. Latar belakang atas reaksi penolakan, ketakutan, kecemasan yang mirip dengan gejala paranoia terhadap gaya kepemimpinan ataupun rekam jejak Ahok perlu direfleksikan. Jika latar belakangnya lebih didominasi dendam atau bersifat politis tentu sangat tidak tepat dan tidak pada konteksnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti