KONTAN.CO.ID - SEOUL. Anggota parlemen Korea Selatan menyerukan pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol setelah mengumumkan darurat militer, tetapi mencabutnya beberapa jam kemudian. Hal tersebut memicu krisis politik terbesar Korea Selatan dalam beberapa dekade terakhir. Pernyataan mendadak Presiden Yoon pada Selasa (3/12) malam, memicu kebuntuan dengan parlemen yang menolak darurat militer. Di mana, anggota parlemen hingga menggunakan alat pemadam kebakaran untuk mencegah pasukan pemerintah memasuki gedung parlemen. Sebuah koalisi anggota parlemen dari partai oposisi mengatakan, mereka berencana untuk mengusulkan RUU untuk memakzulkan Yoon pada hari ini, yang harus diloloskan dalam waktu 72 jam.
"Parlemen harus fokus untuk segera menangguhkan bisnis presiden untuk meloloskan RUU pemakzulan secepatnya," Hwang Un-ha, salah satu anggota parlemen dalam koalisi tersebut, mengatakan kepada wartawan. Sebelumnya, Yoon menyampaikan kepada rakyat dalam pidato di TV bahwa darurat militer diperlukan untuk mempertahankan negara dari Korea Utara yang bersenjata nuklir dan pasukan anti-negara pro-Utara, dan melindungi tatanan konstitusionalnya yang bebas. Di satu sisi, Yoon tidak menyebutkan ancaman khusus. Baca Juga:
Korea Selatan Berikan Likuiditas Tanpa Batas ke Pasar Keuangan Usai Kekacauan Politik Dalam beberapa jam, parlemen Korea Selatan, dengan 190 dari 300 anggota parlemen yang hadir, dengan suara bulat meloloskan mosi yang mengharuskan darurat militer dicabut, termasuk seluruh atau 18 anggota yang hadir dari partai Yoon. Alhasil, Presiden Yoon kemudian membatalkan deklarasi darurat militer di pagi hari. Para pengunjuk rasa di luar parlemen Majelis Nasional berteriak dan bertepuk tangan. "Kami menang!" mereka berteriak, dan seorang demonstran memukul drum. Koalisi serikat pekerja terbesar di Korea Selatan, Konfederasi Serikat Pekerja Korea, mengatakan ribuan anggotanya akan mogok kerja hingga Yoon mengundurkan diri dan mengadakan unjuk rasa di kemudian hari di pusat kota Seoul. Beberapa protes lainnya diperkirakan akan terjadi, termasuk di dekat Majelis Nasional, tempat ribuan orang berkumpul pada Selasa malam untuk menyerukan pemblokiran perintah Yoon dan kemudian menuntut penangkapan dan pengunduran dirinya. Beberapa perusahaan termasuk Naver Corp dan LG Electronics Inc menyarankan karyawan untuk bekerja dari rumah.
Baca Juga: Bursa Saham Korea Selatan Dibuka Anjlok Hampir 2% Hari Ini, Terseret Kisruh Politik Saham Korea Selatan dibuka turun sekitar 2% pada hari ini. Sementara, won Korea Selatan stabil diperdagangkan sekitar 1.418 terhadap dolar AS, setelah jatuh ke level terendah dalam dua tahun. Kementerian Keuangan berjanji akan menggelontorkan uang jika diperlukan guna menopang pasar keuangan yang bergejolak, setelah Menteri Keuangan Choi Sang-mok dan Gubernur Bank Korea Rhee Chang-yong mengadakan pertemuan darurat semalam. "Kami akan menyuntikkan likuiditas tanpa batas ke dalam saham, obligasi, pasar uang jangka pendek, serta pasar valas untuk sementara waktu hingga semuanya kembali normal sepenuhnya," kata pemerintah dalam sebuah pernyataan. BOK mengadakan pertemuan luar biasa yang dimulai pukul 9 pagi (0000 GMT) pada hari Rabu. Setelah pengumuman darurat militer oleh Yoon, militer Korea Selatan mengatakan bahwa kegiatan parlemen dan partai politik akan dilarang, dan bahwa media dan penerbit akan berada di bawah kendali komando darurat militer. Pasukan berhelm sempat mencoba memasuki gedung parlemen. Para ajudan parlemen terlihat mencoba memukul mundur para tentara dengan menyemprotkan alat pemadam kebakaran. Oposisi utama Partai Demokrat meminta Yoon, yang telah menjabat sejak 2022, untuk mengundurkan diri atau menghadapi pemakzulan atas deklarasi darurat militer, yang pertama di Korea Selatan sejak 1980. “Bahkan jika darurat militer dicabut, dia tidak dapat menghindari tuduhan pengkhianatan. Jelas terungkap ke seluruh negeri bahwa Presiden Yoon tidak dapat lagi menjalankan negara secara normal. Dia harus mengundurkan diri," kata anggota senior DPR dari Partai Demokrat Park Chan-dae dalam sebuah pernyataan. Majelis Nasional dapat memakzulkan presiden jika lebih dari dua pertiga anggota parlemen memberikan suaranya. Sidang kemudian diadakan oleh pengadilan konstitusi, yang dapat mengonfirmasinya dengan suara enam dari sembilan hakim. Partai Yoon menguasai 108 kursi di badan legislatif yang beranggotakan 300 orang. "Korea Selatan sebagai sebuah negara berhasil menghindari peluru, tetapi Presiden Yoon mungkin telah menembak kakinya sendiri," kata Danny Russel, wakil presiden lembaga pemikir Asia Society Policy Institute di Amerika Serikat. Krisis di negara yang telah menjadi demokrasi sejak 1980-an, dan merupakan sekutu AS serta ekonomi utama Asia, menimbulkan kekhawatiran internasional. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan dia menyambut baik keputusan Yoon untuk mencabut deklarasi darurat militer. "Kami terus berharap perselisihan politik dapat diselesaikan secara damai dan sesuai dengan aturan hukum," kata Blinken dalam sebuah pernyataan pernyataan.
Baca Juga: Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol Akan Cabut Status Darurat Militer Sekitar 28.500 tentara AS ditempatkan di Korea Selatan untuk berjaga-jaga terhadap Korea Utara yang bersenjata nuklir. Yoon, seorang jaksa penuntut, meraih kemenangan dalam pemilihan presiden terketat dalam sejarah Korea Selatan pada tahun 2022. Ia memanfaatkan gelombang ketidakpuasan atas kebijakan ekonomi, skandal, dan perang gender, dengan tujuan untuk membentuk kembali masa depan politik ekonomi terbesar keempat di Asia tersebut. Namun, ia tidak populer, dengan peringkat dukungannya berkisar sekitar 20% selama berbulan-bulan. Partai Kekuatan Rakyatnya mengalami kekalahan telak dalam pemilihan parlemen pada bulan April tahun ini, menyerahkan kendali majelis unikameral kepada partai-partai oposisi yang memperoleh hampir dua pertiga kursi.
Telah terjadi lebih dari selusin contoh darurat militer yang diberlakukan sejak Korea Selatan berdiri sebagai negara republik pada tahun 1948. Pada tahun 1980, sekelompok perwira militer yang dipimpin oleh Chun Doo-hwan memaksa Presiden Choi Kyu-hah untuk mengumumkan darurat militer guna menghancurkan seruan oposisi, buruh, dan mahasiswa untuk pemulihan pemerintahan yang demokratis.
Editor: Anna Suci Perwitasari