JAKARTA. Politik tidak melulu soal idealisme, lobi, dan jaringan. Ada dimensi lain yang juga penting, yaitu citra dan persepsi. Pada dimensi ini, media adalah sarana yang mutlak. Lewat media, citra dan persepsi diusahakan dibangun serta disebarluaskan kepada khalayak. Namun, pembentukan citra dan persepsi tidak ditentukan semata-mata oleh media. Ada hal lain yang ikut menentukan keberhasilan pembangunan citra: mulai dari substansi gagasan hingga riwayat kubu kekuatan politik yang sedang berusaha membangun citra. Menjelang Pemilu 2014, pembentukan citra dan persepsi di ruang publik meningkat. Setiap kekuatan politik tidak ingin ketinggalan merebut simpati. Dalam konteks demikian, isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) merupakan pintu masuk penting bagi sejumlah kekuatan politik untuk mengampanyekan citra yang hendak mereka bangun. Seperti kaset lama yang diputar terus-menerus, strategi yang dipakai dalam membangun citra tidak berubah: mari tolak kenaikan harga BBM karena rakyat pasti tidak menyukai harga naik. Pembangunan citra sebagai kekuatan politik yang prorakyat pun dibangun. Sikap menolak rencana kenaikan harga BBM diumumkan di mana-mana walau itu berbeda dengan sikap partai politik lain pendukung pemerintah. Argumen ilmiah coba diselipkan dengan mengutip hasil survei bahwa lebih dari 86 persen orang Indonesia tidak setuju harga BBM naik. Kegaduhan terjadi. Kekuatan politik pendukung pemerintah dinilai seharusnya bersikap sama dengan pemerintah dalam isu sangat strategis seperti harga BBM. Upaya membangun citra sebagai kekuatan politik yang prorakyat ternyata berhadapan dengan tudingan perilaku tidak etis, tidak konsisten, dan hanya mau cari untung sendiri. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tampaknya paham ke arah mana perdebatan itu bergerak. Karena itu, lewat juru bicaranya, Julian Aldrin Pasha, ia mempersilakan rakyat untuk menilai sendiri manuver setiap parpol pendukung pemerintah. SBY pun tidak akan mau mencopot menteri gara-gara pertentangan di antara kekuatan pendukung pemerintah. Mencopot menteri justru berpotensi besar menguntungkan kelompok yang sedang membangun citra prorakyat dengan mengampanyekan penolakan terhadap kenaikan harga BBM. Jadi, berhati-hatilah, jangan sampai kalah cerdik memainkan isu BBM…. (A Tomy Trinugroho/Kompas Cetak/Kompas.com)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Partai koalisi beradu cerdik dalam isu BBM
JAKARTA. Politik tidak melulu soal idealisme, lobi, dan jaringan. Ada dimensi lain yang juga penting, yaitu citra dan persepsi. Pada dimensi ini, media adalah sarana yang mutlak. Lewat media, citra dan persepsi diusahakan dibangun serta disebarluaskan kepada khalayak. Namun, pembentukan citra dan persepsi tidak ditentukan semata-mata oleh media. Ada hal lain yang ikut menentukan keberhasilan pembangunan citra: mulai dari substansi gagasan hingga riwayat kubu kekuatan politik yang sedang berusaha membangun citra. Menjelang Pemilu 2014, pembentukan citra dan persepsi di ruang publik meningkat. Setiap kekuatan politik tidak ingin ketinggalan merebut simpati. Dalam konteks demikian, isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) merupakan pintu masuk penting bagi sejumlah kekuatan politik untuk mengampanyekan citra yang hendak mereka bangun. Seperti kaset lama yang diputar terus-menerus, strategi yang dipakai dalam membangun citra tidak berubah: mari tolak kenaikan harga BBM karena rakyat pasti tidak menyukai harga naik. Pembangunan citra sebagai kekuatan politik yang prorakyat pun dibangun. Sikap menolak rencana kenaikan harga BBM diumumkan di mana-mana walau itu berbeda dengan sikap partai politik lain pendukung pemerintah. Argumen ilmiah coba diselipkan dengan mengutip hasil survei bahwa lebih dari 86 persen orang Indonesia tidak setuju harga BBM naik. Kegaduhan terjadi. Kekuatan politik pendukung pemerintah dinilai seharusnya bersikap sama dengan pemerintah dalam isu sangat strategis seperti harga BBM. Upaya membangun citra sebagai kekuatan politik yang prorakyat ternyata berhadapan dengan tudingan perilaku tidak etis, tidak konsisten, dan hanya mau cari untung sendiri. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tampaknya paham ke arah mana perdebatan itu bergerak. Karena itu, lewat juru bicaranya, Julian Aldrin Pasha, ia mempersilakan rakyat untuk menilai sendiri manuver setiap parpol pendukung pemerintah. SBY pun tidak akan mau mencopot menteri gara-gara pertentangan di antara kekuatan pendukung pemerintah. Mencopot menteri justru berpotensi besar menguntungkan kelompok yang sedang membangun citra prorakyat dengan mengampanyekan penolakan terhadap kenaikan harga BBM. Jadi, berhati-hatilah, jangan sampai kalah cerdik memainkan isu BBM…. (A Tomy Trinugroho/Kompas Cetak/Kompas.com)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News