Pasal penghinaan presiden kembali masuk RUU KUHP



JAKARTA. Meskipun pasal penghinaan presiden pernah dihapus melalui putusan Mahkamah Konstitusi pada 4 Desember 2006, tetapi aturan tersebut kembali dimasukkan dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) versi pemerintah yang diserahkan ke DPR.

Jika nantinya disahkan dalam peraturan resmi, setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 300 juta. Tak dapat dihindari, hal itu pun lantas menimbulkan kontroversi tersendiri.  Bahkan politikus Senayan pun mulai bereaksi keras menolak untuk membahasnya.

Anggota komisi hukum DPR asal Fraksi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari menganggap pembahasan pasal penghinaan presiden hanya membuang-buang waktu karena itu sudah jelas pernah ditolak oleh MK.


"Itu manuver yang sia-sia, kalau toh nanti diajukan judicial review lagi pasti ditolak," ujar Eva saat dihubungi, Kamis (4/4). Tak hanya itu, menurut Eva asas equality before the law atau kesetaraan hukum juga harus diberlakukan pada Presiden. Kata dia kalau pada akhirnya presiden menjadi sasaran dari caci maki itu risiko orang yang berada di kekuasaan, bukan berarti ada privilege khusus bahwa presiden tidak boleh dihina. "Saya harap fraksi-fraksi di DPR sesuai dengan putusan MK harus mematuhi. Tidak kemudian mengikuti langgam yang saya lihat sebagai penelikungan hukum oleh KemenkumHAM," imbuhnya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh  Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid. Ia beranggapan pasal tersebut justru akan mengancam sistem kebebasan berdemokrasi di tanah air. "Secara prinsip Fraksi PKS dalam posisi menolak pasal itu. Karena pasal itu akan subyektif. Akan menghadirkan demokrasi yang terbelenggu," kata Hidayat, kepada, Jakarta, Kamis (4/4/2013). Namun meski demikian, anggota komisi I itu tetap berpendapat bahwa Presiden selaku kepala negara harus dihormati. Kaya dia ini adalah DPR masih akan mengkajinya sebelum mengambil keputusan. "Ini namanya usulan belum sebuah keputusan. DPR akan mengkajinya," pungkas Hidayat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: