JAKARTA. Kontroversi penerapan pasal mengenai santet dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) masih terus bergulir. Namun politikus Partai Gerindra sekaligus paranormal Permadi menilai akan timbul ketidakadilan jika pada akhirnya aturan tersebut diterapkan. "Pasal itu tidak adil. Kalau santet, mengaku tanpa diperiksa lalu dihukum," kata Permadi di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (2/4). Ia pun lantas membandingkan dengan kasus pidana lainnya. Primadi mengatakan kalau dalam kasus pemerkosaan meskipun pelakunya mengaku tapi yang bersangkutan harus diperiksa dulu sebelum dihukum, sedangkan kalau dalam kasus santet tidak demikian. Apalagi, terkadang pelaku santet bukan otak dari tindakan tersebut. Kecenderungannya yang terjadi pelaku hanya melaksanakan pesanan. "Orang yang nyantet itu tidak ada keperluannya tetapi dibayar saja. Kalau begitu yang menyuruh akan bebas berkeliaran," imbuhnya. Sementara itu menanggapi pro kontra tersebut, Dirjen Peraturan Perundang-undangan Wahiduddin Adams justru meyakini aturan tersebut dapat membantu penegak hukum untuk menangani laporan-laporan yang selama ini tidak terselesaikan. Menurutnya pada dasarnya pengaturan pasal santet bertujuan untuk mencegah penipuan kepada masyarakat umum atau dukun palsu. "Ini mengajak masyarakat berpikir rasional, bukan mengajak orang berpikir tidak rasional," terang Wahiduddin. Seperti diketahui, dalam draf revisi UU KUHP yang disampaikan pemerintah disebutkan bahwa pihak yang menawarkan kekuatan magisnya dapat dikenai hukuman pidana. Adapun, berikut kutipan pasal yang mengatur tentang santet dan ilmu hitam lainnya itu: (1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV; (2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya ditambah dengan sepertiga.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Pasal santet dianggap tak adil bagi pelaku
JAKARTA. Kontroversi penerapan pasal mengenai santet dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) masih terus bergulir. Namun politikus Partai Gerindra sekaligus paranormal Permadi menilai akan timbul ketidakadilan jika pada akhirnya aturan tersebut diterapkan. "Pasal itu tidak adil. Kalau santet, mengaku tanpa diperiksa lalu dihukum," kata Permadi di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (2/4). Ia pun lantas membandingkan dengan kasus pidana lainnya. Primadi mengatakan kalau dalam kasus pemerkosaan meskipun pelakunya mengaku tapi yang bersangkutan harus diperiksa dulu sebelum dihukum, sedangkan kalau dalam kasus santet tidak demikian. Apalagi, terkadang pelaku santet bukan otak dari tindakan tersebut. Kecenderungannya yang terjadi pelaku hanya melaksanakan pesanan. "Orang yang nyantet itu tidak ada keperluannya tetapi dibayar saja. Kalau begitu yang menyuruh akan bebas berkeliaran," imbuhnya. Sementara itu menanggapi pro kontra tersebut, Dirjen Peraturan Perundang-undangan Wahiduddin Adams justru meyakini aturan tersebut dapat membantu penegak hukum untuk menangani laporan-laporan yang selama ini tidak terselesaikan. Menurutnya pada dasarnya pengaturan pasal santet bertujuan untuk mencegah penipuan kepada masyarakat umum atau dukun palsu. "Ini mengajak masyarakat berpikir rasional, bukan mengajak orang berpikir tidak rasional," terang Wahiduddin. Seperti diketahui, dalam draf revisi UU KUHP yang disampaikan pemerintah disebutkan bahwa pihak yang menawarkan kekuatan magisnya dapat dikenai hukuman pidana. Adapun, berikut kutipan pasal yang mengatur tentang santet dan ilmu hitam lainnya itu: (1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV; (2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya ditambah dengan sepertiga.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News