Pasar aluminium tumbuh 15% di 2015



JAKARTA. Kebutuhan aluminium di Indonesia pada 2015 diprediksi tumbuh 10%-15%. Namun kenaikan kebutuhan ini tak seiring dengan kenaikan pertumbuhan produksi aluminium nasional. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka Indonesia akan ketergantungan impor aluminium.

Achmad Safiun, Ketua Asosiasi Industri Pengecoran Logam Indonesia (Aplindo) bilang, kebutuhan logam aluminium naik karena kenaikan permintaan industri hilir aluminium. "Keinginan pemerintah memperkuat konstruksi dan infrastruktur menaikkan kebutuhan logam dasar ini," kata Safiun, Rabu (26/11). 

Mengacu data Aplindo, kebutuhan ingot aluminium tahun ini mencapai 800.000 ton. Jika kebutuhan tahun 2015 naik 10%-15% , maka kebutuhan ingot aluminium tahun depan diprediksi mencapai 880.000 ton–884.000 ton. 


Adapun produksi ingot aluminium nasional hanya 250.000 ton per tahun. Sisanya sebanyak 584.000 ton impor dari beberapa negara. Perlu diketahui, di Indonesia, satu-satunya industri hulu logam dasar industri aluminium ini hanya PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). 

Inalum sudah menyadari adanya kenaikan kebutuhan aluminium tersebut. Untuk itu, perusahaan pelat merah ini sudah mengatur rencana untuk menambah kapasitas produksi menjadi 500.000 ton per tahun. Namun, rencananya itu baru akan terealisasi tahun 2020 mendatang. 

Jika tak ada investasi baru selain Inalum, maka bisa dipastikan Indonesia akan ketergantungan impor ingot aluminium. Tak hanya impor ingot aluminium saja, Indonesia juga mengimpor mineral alumina, yang merupakan bahan baku ingot aluminium. 

Padahal, alumina yang berasal dari bahan baku bauksit terbilang melimpah di Indonesia. Maka itu, Inalum saat ini fokus menambah produksi ingot dengan cara membangun smelter pengolahan bauksit menjadi alumina.

Saifun bilang, banyak investor tidak tertarik investasi di industri aluminium ini karena mahal. Belum lagi adanya keterbatasan sumber energi listrik yang merupakan alat produksi utama. "Jika ingin bangun industri ini, saya usul dibangun dekat sungai Membramo di Papua. Di lokasi itu investor bisa membangun PLTA," terangnya. 

Untuk info saja, listrik adalah komponen penting memproduksi ingot aluminium. Biaya untuk listrik mengantungi 48% dari biaya produksi ingot aluminium. Selain peran investor mendirikan PLTA, Safiun juga meminta pemerintah menggarap potensi energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi untuk memproduksi aluminium. 

"Jika ada 5.000 megawatt untuk sektor ini, maka bisa mengolah aluminium 2,2 juta ton, dan itu cukup memenuhi kebutuhan ingot aluminium di tahun 2025," tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto