Krisis moneter yang menghantam Indonesia tahun 1997-1998 telah menghancurkan kejayaan Pasar Kayoon sebagai sentra bunga segar. Hampir 50% pedagang di sentra ini gulung tikar. Namun, setelah masa kelam itu berlalu, pedagang mulai bernapas lega karena omzet mereka pulih.Kejayaan Pasar Kayoon, Surabaya sebagai pusat penjualan bunga segar tidak sempat luntur saat krisis moneter menghantam Indonesia tahun 1997-1998. Sebagian pedagang di sentra ini kehilangan banyak pelanggan sehingga omzet mereka turun drastis.Penurunan pendapatan ini tidak hanya dialami oleh para pedagang bunga di Pasar Kayoon, tapi juga semua pedagang bunga di seluruh kota Surabaya. Para pedagang betul-betul mengalami masa paceklik. Maklum, masyarakat menengah atas yang tadinya menjadikan bunga sebagai kebutuhan, mulai meninggalkannya. "Saat itu, ketimbang membeli bunga, orang lebih memilih membeli beras," ujar Dian Herlinasari, pedagang bunga di Kayoon.Dian bercerita, situasi paceklik itu semakin parah dengan kondisi pasar bunga segar yang makin sesak oleh pedagang lain, termasuk pedagang bunga kali lima. Akibatnya, Sutari, pedagang bunga lainnya di sentra ini, menambahkan, ketika itu 50% pedagang bunga di Pasar Kayoon gulung tikar. Di masa suram itu, ia hanya bisa mengumpulkan omzet sekitar Rp 5 juta per bulan. "Omzet merosot 70%," ujarnya. Menurut Dian, pendapatan yang anjlok dalam itu tidak cukup untuk menutup biaya operasional pedagang, seperti sewa tempat dan membeli stok bunga segar.Untunglah, kondisi suram tersebut tidak berlangsung lama. Setelah dua tahun berlalu, tepatnya pada 2000, penyakit yang menyebabkan krisis ekonomi Indonesia lambat laut terobati. Membaiknya kondisi ekonomi menguatkan daya beli masyarakat, sehingga membuat bisnis bunga segar berangsur-angsur pulih.Omzet Dian, Sutari serta pedagang lainnya pun kembali seperti sediakala. Kios-kios yang dulu ditinggalkan pedagang yang bangkrut pun sudah terisi. "Sebanyak 50% pedagang yang dulu gulung tikar kembali lagi," ujar Dian.Pascakrisis, 70% pesanan bunga datang dari instansi pemerintah dan swasta, dan 30% permintaan lainnya berasal dari perorangan.Kondisi yang makin membaik membuat pedagang bunga juga berinisiatif menggelar dagangan selain bunga, seperti akuarium dan pernak-pernik taman, misalnya, patung, pot, dan guci. Sebab, "Marginnya bisa mencapai 30% sampai 50%," ungkap Sutari.Upaya diversifikasi produk juga dilakukan Sonya, pedagang bunga lain di Pasar Kayoon. Selain bunga segar, dia juga menjual bunga plastik dengan dominan warna merah dan pink. Ia juga melego boneka teddy bear aneka ukuran, bantal berbentuk hati, dan coklat dengan harga rata-rata Rp 50.000 hingga Rp 500.000. "Pasarnya anak muda yang tengah kasmaran," ujarnya.Sonya mengaku sangat terbantu dengan penjualan produk-produk di luar bunga segar tersebut. Soalnya, menyumbang keuntungan lumayan: 20% dari harga jual.Apalagi, Sonya menuturkan, harga barang dagangannya jauh lebih murah dibandingkan di mal. Tak heran, menjelang Hari Valentine seperti saat ini, banyak anak muda Surabaya yang memburu produknya.Upaya diversifikasi produk juga banyak dilakukan pedagang di Pasar Kayoon. Bahkan, kini, di antara deretan penjual bunga, banyak juga pedagang ikan hias dan akuarium. (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Pasar Bunga Kayoon: Sempat dua tahun krisis penjualan (2)
Krisis moneter yang menghantam Indonesia tahun 1997-1998 telah menghancurkan kejayaan Pasar Kayoon sebagai sentra bunga segar. Hampir 50% pedagang di sentra ini gulung tikar. Namun, setelah masa kelam itu berlalu, pedagang mulai bernapas lega karena omzet mereka pulih.Kejayaan Pasar Kayoon, Surabaya sebagai pusat penjualan bunga segar tidak sempat luntur saat krisis moneter menghantam Indonesia tahun 1997-1998. Sebagian pedagang di sentra ini kehilangan banyak pelanggan sehingga omzet mereka turun drastis.Penurunan pendapatan ini tidak hanya dialami oleh para pedagang bunga di Pasar Kayoon, tapi juga semua pedagang bunga di seluruh kota Surabaya. Para pedagang betul-betul mengalami masa paceklik. Maklum, masyarakat menengah atas yang tadinya menjadikan bunga sebagai kebutuhan, mulai meninggalkannya. "Saat itu, ketimbang membeli bunga, orang lebih memilih membeli beras," ujar Dian Herlinasari, pedagang bunga di Kayoon.Dian bercerita, situasi paceklik itu semakin parah dengan kondisi pasar bunga segar yang makin sesak oleh pedagang lain, termasuk pedagang bunga kali lima. Akibatnya, Sutari, pedagang bunga lainnya di sentra ini, menambahkan, ketika itu 50% pedagang bunga di Pasar Kayoon gulung tikar. Di masa suram itu, ia hanya bisa mengumpulkan omzet sekitar Rp 5 juta per bulan. "Omzet merosot 70%," ujarnya. Menurut Dian, pendapatan yang anjlok dalam itu tidak cukup untuk menutup biaya operasional pedagang, seperti sewa tempat dan membeli stok bunga segar.Untunglah, kondisi suram tersebut tidak berlangsung lama. Setelah dua tahun berlalu, tepatnya pada 2000, penyakit yang menyebabkan krisis ekonomi Indonesia lambat laut terobati. Membaiknya kondisi ekonomi menguatkan daya beli masyarakat, sehingga membuat bisnis bunga segar berangsur-angsur pulih.Omzet Dian, Sutari serta pedagang lainnya pun kembali seperti sediakala. Kios-kios yang dulu ditinggalkan pedagang yang bangkrut pun sudah terisi. "Sebanyak 50% pedagang yang dulu gulung tikar kembali lagi," ujar Dian.Pascakrisis, 70% pesanan bunga datang dari instansi pemerintah dan swasta, dan 30% permintaan lainnya berasal dari perorangan.Kondisi yang makin membaik membuat pedagang bunga juga berinisiatif menggelar dagangan selain bunga, seperti akuarium dan pernak-pernik taman, misalnya, patung, pot, dan guci. Sebab, "Marginnya bisa mencapai 30% sampai 50%," ungkap Sutari.Upaya diversifikasi produk juga dilakukan Sonya, pedagang bunga lain di Pasar Kayoon. Selain bunga segar, dia juga menjual bunga plastik dengan dominan warna merah dan pink. Ia juga melego boneka teddy bear aneka ukuran, bantal berbentuk hati, dan coklat dengan harga rata-rata Rp 50.000 hingga Rp 500.000. "Pasarnya anak muda yang tengah kasmaran," ujarnya.Sonya mengaku sangat terbantu dengan penjualan produk-produk di luar bunga segar tersebut. Soalnya, menyumbang keuntungan lumayan: 20% dari harga jual.Apalagi, Sonya menuturkan, harga barang dagangannya jauh lebih murah dibandingkan di mal. Tak heran, menjelang Hari Valentine seperti saat ini, banyak anak muda Surabaya yang memburu produknya.Upaya diversifikasi produk juga banyak dilakukan pedagang di Pasar Kayoon. Bahkan, kini, di antara deretan penjual bunga, banyak juga pedagang ikan hias dan akuarium. (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News