Pasar cemas kekuatan reformasi ekonomi



JAKARTA. Sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan melaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Keputusan ini dimasukkan ke dalam Undang-undang (UU) Pilkada, termasuk sejumlah keputusan lain seperti pemilihan paket dan politik dinasti.

Melalui voting, 135 anggota DPR memilih Pilkada langsung oleh rakyat. Sedangkan 226 orang anggota DPR memilih Pilkada tidak langsung oleh rakyat, yaitu melalui DPRD. Dengan keputusan itu, maka RUU Pilkada ditetapkan oleh DPR menjadi UU Pilkada.

Akibat investor mulai ragu akan arah kebijakan Indonesia dalam lima tahun ke depan. Hasil keputusan sidang paripurna membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,32% menjadi 5.132,56. Asing turut menjual saham dengan total jual bersih Rp 1,42 triliun. Akibatnya, secara year to date (ytd), dana asing mencapai Rp 49,92 triliun. Rupiah juga kembali melemah di level 12.048 per dollar AS di pasar spot.


Analis KDB Daewoo Securities, Taye Shim dalam riset 26 September mengatakan, hasil sidang UU Pilkada ini seperti mencubit presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi). "Kondisi ini membuat para pelaku pasar mempertanyakan apakah kebijakan reformasi ekonomi Jokowi dapat dilakukan dengan baik," ujar dia.

David Sutyanto, Analis First Asia Capital menambahkan, investor sejatinya tidak terlalu mempermasalahkan apakah Pilkada dilakukan langsung oleh rakyat atau DPRD. Investor lebih mencemaskan pada kuatnya posisi koalisi merah putih di DPR. "Investor khawatir jika mereka kuat di DPR, banyak kebijakan Jokowi-JK yang akan dihadang," jelas dia.

Sedangkan, Satrio Utomo, Kepala Riset Universal Broker Indonesia dan Kepala Riset Batavia Prosperindo, Andy Ferdinand bilang, hasil sidang hanya dijadikan alasan pemodal melepas posisi. Andy beranggapan, Pilkada tak berhubungan langsung pada kinerja emiten.

Namun, analis menilai, sentimen politik seperti ini biasanya hanya berdampak jangka pendek. Sentimen lain cukup besar justru arah kebijakan The Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga acuan. Jika dilakukan, capital outflow bisa lebih besar.

David bilang, net sell asing saat ini masih wajar. "Kalau mereka net sell lagi Rp 10 triliun-Rp 15 triliun, berarti sedang penyesuaian portofolio lantaran sudah masuk terlalu banyak," jelas dia.

Tapi Satrio melihat sejak 9 September net sell asing telah Rp 5 triliun. "Aktivitas jual asing perlu diwaspadai," ujar dia. Ia melihat, kemungkinan koreksi bisa di 4.950 sampai 5.000. David juga memproyeksikan, IHSG akan di 4.800-4.900 di akhir tahun ini. Sementara Andy menganjurkan, menunggu aksi jual reda setelah itu buy on weakness.

Satrio bilang, tak ada sentimen positif jangka panjang bagi IHSG sampai Jokowi menaikkan harga jual bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Apalagi, kinerja emiten juga akan jauh dari harapan pelaku pasar. Satrio bilang, ini juga karena perlambatan ekonomi.

Taye menyarankan, investor juga lebih konservatif. Pasalnya, jika rupiah melemah lebih lanjut raihan pendapatan emiten akan semakin tertekan.

Sampai akhir tahun Satrio memperkirakan, IHSG akhir tahun akan berada di kisaran sekitar 5.200 sampai 5.650. Namun, dengan kondisi sekarang, ia menilai target atas akan sulit terpenuhi. Sedangkan, Andy memprediksikan, IHSG akan di 5.440 hingga akhir tahun. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Avanty Nurdiana