KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Industri batubara berpotensi mengalami penurunan pada tahun 2024. Transisi energi sejumlah negara, dampak pemulihan pasca pandemi covid-19 serta persaingan pasar menjadi tantangan dalam bisnis batubara di tahun depan. Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya mengatakan, harga komoditas cenderung mengalami penurunan pasca situasi krisis. Seperti diketahui, harga batubara mengalami lonjakan signifikan pada kurun 2021-2023 akibat meningkatnya permintaan batubara saat Pandemi Covid-19 dan pasca pandemi.
Komitmen sejumlah negara Uni Eropa serta Amerika Serikat (AS) menjalankan transisi energi tercermin dari mulai menurunnya konsumsi batubara negara-negara tersebut dalam tiga tahun terakhir. Baca Juga:
Ancora Indonesia Resources (OKAS) Kejar Penjualan Naik 5%-10% di Tahun 2024 "Transisi itu nyata, dari perkiraan, Uni Eropa, China dan India sudah mencapai puncak konsumsinya di 2023, ini akan menurun di 2024. Perlu diwaspadai oleh pelaku usaha," kata Berly dalam Diskusi Virtual, Selasa (12/12). Berly menambahkan, China yang selama ini merupakan salah satu negara tujuan ekspor batubara Indonesia juga berpotensi mengalami penurunan konsumsi. Gerakan perusahaan-perusahaan global meninggalkan China berdampak pada berkurangnya industri di negara Tirai Bambu tersebut. Kondisi ini besar kemungkinan akan membuat harga batubara sulit mengalami kenaikan seperti tahun-tahun sebelumnya. "Prediksi saya harga batubara di 2024 di kisaran US$ 110 per ton hingga US$ 130 per ton tapi tidak turun sampai di bawah US$ 100 per ton," terang Berly. General Manager Marketing PT Kaltim Prima Coal (KPC) Rahmad Desmi Fajar mengungkapkan, terjadi volatilitas harga sepanjang tahun 2023.
Baca Juga: Kadin Sebut Proyek Hilirisasi Batubara Perlu Kepastian Offtaker "Di pertengahan tahun 2023 terjadi volatilitas tinggi di harga menyentuh hampir US$ 400 per ton," terang Rahmad dalam kesempatan yang sama. Rahmad melanjutkan, untuk pasar China pada tahun ini mencatatkan peningkatan permintaan batubara thermal ketimbang tahun 2022 lalu. Meski demikian, peningkatan permintaan berpotensi mengalami penurunan pada tahun 2024 dan 2025. Kondisi sama diprediksi juga terjadi untuk beberapa negara yang merupakan pasar tradisional Indonesia untuk batubara seperti Jepang, Korea dan Taiwan.
Menanggapi situasi ini, Rahmad menilai, industri batubara Indonesia perlu mencari ceruk-ceruk pasar ekspor baru di luar sejumlah negara di atas. Pasar yang dinilai potensial yakni dari kawasan Asia Tenggara. "Yang paling bagus marketnya Vietnam, mereka menaikkan impor lebih dari 54% dan mereka masih ada pembangunan PLTU baru sekitar 9 GW. Filipina juga impornya naik 15,8%," kata Rahmad. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari