Pasar ekspor edamame masih terbuka lebar



JAKARTA. Produk hortikultura dalam negeri semakin diminati pasar mancanegara. Salah satunya adalah kedelai jepang atau lebih dikenal dengan edamame. Kedelai ini memiliki bentuk lebih besar ketimbang jenis kedelai biasa. Maklum bobotnya bisa mencapai 30 gram per 100 bijinya.

Anda bisa menemukan produk edamame yang dijual dalam bentuk segar maupun beku. Kedelai ini kian populer selain menjadi camilan rebusan juga dijadikan bahan jus atau sup yang diyakini baik bagi kesehatan. Tak ayal permintaan edamame terus meningkat tidak hanya dari luar negeri tapi juga lokal. Diperkirakan kebutuhan edamame di dunia mencapai 100.000 ton per tahun.  Sebanyak 70% permintaan berasal dari Jepang dan sisanya terbagi ke wilayah Amerika, Eropa, dan Timur Tengah.

Apalagi harga edamame di pasar dunia relatif stabil di kisaran US$ 1,86 -US$ 2 per kilogram (kg) dalam bentuk beku. Sedangkan harga jual edamame segar di pasar lokal berkisar Rp 17.000-Rp 22.000 per kg. Adapun harga edamame di tingkat petani mulai Rp 3.000-Rp 10.000 per kg, karena tergantung grade-nya.


Di bandingkan dengan kedelai biasa, keuntungan budidaya edamame juga lebih tebal. Biaya produksi rata-rata Rp 35 juta per hektare (ha), sedangkan hasil panen sebanyak 8 ton per ha. Kalau 60% dari 8 ton hasil panen adalah edamame grade A, maka sekali panen dalam waktu 70 hari sudah bisa balik modal dengan mengantongi pendapatan Rp 48 juta per ha.

Potensi pasar dalam negeri dan ekspor yang masih terbuka lebar ini menarik minat pengusaha membudidayakan tanaman polong-polongan tersebut. Salah satu pemain baru yang terjun ke bisnis edamame adalah PT Austindo Nusantara Jaya Tbk, lewat anak usaha PT Gading Mas Indonesia Teguh (GMIT).  Sebelumnya anak perusahaan ini bernama PT Gading Mas Indonesia Tobacco yang fokus pada bisnis tembakau. Namun sejak 2012, perusahaan tersebut beralih haluan ke usaha agribisnis dan pangan, yang salah satunya memproduksi edamame.

Rencananya, GMIT juga siap membidik pangsa ekspor yang masih terbuka luas. Selama ini, eksportir utama di komoditas  edamame adalah PT Mitratani Dua Tujuh. Anak usaha PT Perkebunan Nusantara X. Mitratani sudah mengekspor edamame sejak awal berdiri sekitar 2004 silam. Adapun produsen edamame lainnya mengekspor dalam jumlah kecil dan umumnya masih berorientasi pasar domestik seperti CV Artha Mitra, PT Wellagro Green Nusantara, dan sebagainya.

Lucas Kurniawan, Direktur Keuangan Austindo Nusantara Jaya bilang, perusahaan bakal menyasar pasar mancanegara mulai tahun depan. “Produksi edamame di Indonesia masih kecil sehingga prospek ke depan sangat menjanjikan,” katanya. Aksi korporasi Austindo merambah pasar edamame luar negeri bukan tanpa pertimbangan. Sebab dari 2014-2015, GMIT telah ujicoba ekstensifkasi budidaya edamame dengan melibatkan 20 kelompok atau sekitar 400 petani. Setiap kelompok tani mengelola lahan kebun edamame seluas 5 ha-8 ha.

Hasilnya sepanjang 2015, GMIT mampu memasarkan 335 ton edamame segar yang dibeli dari petani mitra tersebut. Lucas menjelaskan, produksi edamame seluruhnya diserap pasar domestik dengan jangkauan wilayah Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jakarta. “Kami perkirakan tahun ini mampu menjual 800 ton edamame segar,” sebutnya optimistis tanpa menyebut omzet penjualan.

 Untuk bersaing di pasar ekspor, perusahaan harus memiliki gudang berpendingin udara (cold storage) karena edamame yang diekspor dalam bentuk beku. Agar rencana ini berjalan mulus, Austindo kembali berinvestasi senilai Rp 12,5 miliar. Saat ini tahapannya masih perancangan. Fasilitas cold storage ditargetkan mulai beroperasi semester II-2017 mendatang. “Kami akan ekspor edamame ke Jepang dan China,” ungkap Lucas.

Berbeda dengan PT Wellagro Green Nusantara yang belum memutuskan ekspansi ke luar negeri tapi masih fokus menggarap konsumen lokal. Mashudi, pemilik PT Wellagro Green Nusantara tidak menampik permintaan dari luar negeri untuk produk edamame cukup tinggi. Cuma untuk mememuhi permintaan ekspor harus mengeluarkan investasi lagi. Salah satunya adalah menambah luas lahan dan gudang berpendingin untuk membekukan edamame. “Produksi masih edamame segar sebanyak dua ton per hari,” paparnya.

Sejauh ini eksportir ubi jalar dari Jember itu tetap memprioritaskan pasokan edamame ke hotel dan restoran di Bali dan beberapa kota besar lainnya ketimbang permintaan luar negeri.

Pasar Jepang Bagi Mitratani pasar ekspor  adalah tujuan utama. Sepanjang 2015, Mitratani bisa memproduksi 6.077 ton edamame. Perinciannya, 4.452 ton atau 73,26% untuk penjualan ekspor. Sisanya, 1.625 ton atau 26,74% dipasok ke pasar domestik. Tahun lalu, perusahaan mencatatkan pendapatan dari penjualan edamame Rp 181,6 miliar, naik 57% dibanding penjualan tahun sebelumnya yang hanya Rp 115,6 miliar.

Direktur Utama Mitratani Dua Tujuh Guntaryo menyebutkan, sampai akhir tahun nanti,  pihaknya menargetkan produksi edamame bertambah 300 ton dibanding tahun sebelumnya atau sekitar 6.300 ton. Dari angka tersebut,  Mitratani memproyeksikan penjualan Rp 200 miliar. “Ekspor edamame Mitratani 80% ke Jepang,” ungkapnya. Sisanya, 20%  mencakup penjualan ke Amerika, Eropa, Australia, Kuwait, dan Singapura.

Guntaryo menambahkan, kapasitas produksi Mitratani saat ini sebesar 60 ton per hari atau 8.000 ton per tahun. Adapun  kapasitas gudang berpendingin udara 2.000 ton per tahun. “Penjualan edamame Mitratani besar karena ditunjang fasilitas produksi mumpuni,” klaim Guntaryo.

Terlebih perusahaan pelat merah ini didukung lahan kebun yang cukup luas. Awalnya, luas lahan hanya 100 ha. Seiring meningkatnya permintaan pasar, lahan terus berkembang   menjadi 853 ha per 2010. Lima tahun berselang areal kebun edamame Mitratani menjadi 1.107 ha. Hingga akhir 2016, diperkirakan lahan Mitratani bertambah menjadi 1.250 ha.

Meski begitu, skema bisnis produksi edamame Mitratani juga sama dengan Austindo, yang mana tidak memiliki lahan sendiri. Namun menjalin kemitraan dengan para petani di Jember. Memang, wilayah ini dikenal sebagai basis produksi edamame terbesar di tanah air, selain Solo dan Bogor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dadan M. Ramdan