JAKARTA. China dan India merupakan negara dengan konsumsi batubara tertinggi di dunia. Namun, perlambatan yang terjadi di kedua negara tersebut membuat permintaan batubara global menjadi berkurang, sementara produksi batubara terus berjalan. Akibatnya, stok batubara menumpuk dan pada akhirnya harga batubara global anjlok. Kondisi ini kian diperparah dengan perubahan tren konsumsi batubara China yang memilih batubara berkalori tinggi. Alasannya, batubara jenis ini memiliki tingkat polutan yang lebih rendah. Belum lagi defisit neraca perdagangan India yang melebar gara-gara tingginya impor energi, khususnya batubara. Dampaknya sudah bisa dilihat, permintaan batubara dari negara tersebut semakin menurun. Bahkan, beberapa waktu lalu Pandu Sjahrir, Ketua Komite Komersial Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mengatakan kepada Reuters, jika beberapa pembeli telah membatalkan kontrak atau berusaha renegosiasi kontrak. "Padahal, harga batubara sudah murah," imbuhnya. Lantas, apakah ini tanda-tanda meredupnya industri sektor batubara? Edwin Sebayang, Kepala Riset MNC Securities mengatakan, sentimen dari kedua negara tersebut memang bisa memukul emiten-emiten yang bergerak di industri ini. "Tapi, masih ada beberapa pasar baru yang bisa dilirik selain China dan India," imbuhnya seusai kegiatan Kelas Eksekutif Profesi Analis Efek 2013, Jumat (13/9). Menurutnya, pasar Eropa masih menarik. Apalagi, Eropa mulai memasuki musim dingin yang bisa meningkatkan permintaan batubara. Korea Selatan juga bisa menjadi pilihan. Namun, kedua wilayah ini hanya menginginkan batubara dengan kalori tinggi, di atas 5.000 kilo kalori per kilogram (Kcal/kg) GAR. Artinya, permintaan batubara dengan kalori rendah semakin tertekan. Sebenarnya, emiten batubara berkalori rendah seperti PT Adaro Energy Tbk (ADRO) dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang sekitar 7,5% batubaranya diekspor ke India bisa melakukan diversifikasi produk dengan mengubah batubara menjadi briket. "Tetapi, masalahnya pasar briket sendiri juga susah. Jadi, emiten batubara berkalori rendah yang akan sangat terpukul," pungkas Edwin.
Pasar eropa masih menarik buat ekspor batubara
JAKARTA. China dan India merupakan negara dengan konsumsi batubara tertinggi di dunia. Namun, perlambatan yang terjadi di kedua negara tersebut membuat permintaan batubara global menjadi berkurang, sementara produksi batubara terus berjalan. Akibatnya, stok batubara menumpuk dan pada akhirnya harga batubara global anjlok. Kondisi ini kian diperparah dengan perubahan tren konsumsi batubara China yang memilih batubara berkalori tinggi. Alasannya, batubara jenis ini memiliki tingkat polutan yang lebih rendah. Belum lagi defisit neraca perdagangan India yang melebar gara-gara tingginya impor energi, khususnya batubara. Dampaknya sudah bisa dilihat, permintaan batubara dari negara tersebut semakin menurun. Bahkan, beberapa waktu lalu Pandu Sjahrir, Ketua Komite Komersial Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mengatakan kepada Reuters, jika beberapa pembeli telah membatalkan kontrak atau berusaha renegosiasi kontrak. "Padahal, harga batubara sudah murah," imbuhnya. Lantas, apakah ini tanda-tanda meredupnya industri sektor batubara? Edwin Sebayang, Kepala Riset MNC Securities mengatakan, sentimen dari kedua negara tersebut memang bisa memukul emiten-emiten yang bergerak di industri ini. "Tapi, masih ada beberapa pasar baru yang bisa dilirik selain China dan India," imbuhnya seusai kegiatan Kelas Eksekutif Profesi Analis Efek 2013, Jumat (13/9). Menurutnya, pasar Eropa masih menarik. Apalagi, Eropa mulai memasuki musim dingin yang bisa meningkatkan permintaan batubara. Korea Selatan juga bisa menjadi pilihan. Namun, kedua wilayah ini hanya menginginkan batubara dengan kalori tinggi, di atas 5.000 kilo kalori per kilogram (Kcal/kg) GAR. Artinya, permintaan batubara dengan kalori rendah semakin tertekan. Sebenarnya, emiten batubara berkalori rendah seperti PT Adaro Energy Tbk (ADRO) dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang sekitar 7,5% batubaranya diekspor ke India bisa melakukan diversifikasi produk dengan mengubah batubara menjadi briket. "Tetapi, masalahnya pasar briket sendiri juga susah. Jadi, emiten batubara berkalori rendah yang akan sangat terpukul," pungkas Edwin.