JAKARTA. Pengamat ekonomi Reza Priambada mengatakan, industri baja nasional masih melemah. Hal tersebut terjadi akibat belum pulihnya kondisi pasar baja di luar negeri. "Harganya terus menurut sehingga ini berpengaruh terhadap pasar di dalam negeri," ujar Reza kepada Kompas.com di Jakarta, Kamis (31/10/2013). Harga baja dunia saat ini turun 8 persen menjadi 600 dolar AS per ton pada September 2013, dibanding bulan sebelumnya sebesar 605 dolar AS per ton. Analis Trust Securities itu mengatakan, harga baja masih akan tertekan, seiring kelebihan kapasitas yang sangat kronis di China sebagai negara industri baja terbesar dunia. Menurut data Middle East Steel, lembaga riset baja Timur Tengah, harga baja canai panas (hot rolled coil/HRC) yang selama ini menjadi acuan belum mampu menembus 700 dolar AS per ton. Padahal, harga tersebut merupakan harga tertinggi dalam setahun terakhir. Sebelumnya kepada Antara, Ketua Umum Ikatan Pabrik Paku dan Kawat Indonesia (Ippaki) Ario N Setiantoro menilai, kejatuhan harga baja di pasar global menekan harga baja domestik. Ini diperparah dengan derasnya arus impor produk baja hulu dan hilir. "Harga produk hilir seperti paku dan kawat cenderung turun dibanding tahun lalu. Saat ini, harga paku berkisar Rp 9.000-9.500 per kilogram (kg), sedangkan kawat Rp 7.500-9.000 per kg," ujar Ario di Jakarta, Selasa (29/10/2013) lalu. Menurut Ario, permintaan baja di pasar domestik sebenarnya masih tinggi, yang didorong oleh geliat proyek infrastruktur dan properti Tanah Air. Namun demikian, produsen baja lokal tidak bisa sepenuhnya menikmati lonjakan permintaan karena harus bersaing dengan produk impor dengan harga lebih murah, terutama dari China. Berdasarkan riset Macquarie, bank investasi yang berkantor pusat di Australia, sebanyak 86 produsen baja Tiongkok yang tergabung dalam China Iron & Steel Asscociation (CISA) membukukan kerugian sebesar 113 juta dolar AS hingga Juni tahun ini. Produsen baja merugi Bahkan, Arcelor Mittal, produsen baja terbesar dunia ini yang beroperasi di Eropa, melaporkan kerugian sebesar 1,1 miliar dolar AS selama semester I-2013. Hal ini dipicu tingkat pemanfaatan kapasitas terpasang (utilisasi) yang rendah. Mcquarie menilai, dalam 3-5 tahun ke depan, harga baja masih tertekan. Sementara itu, pasokan bahan baku utama, iron ore pellet, diprediksi tumbuh, namun masih di bawah harapan para pelaku industri baja. Di sisi lain, Macquarie Commodities Research dalam laporannya yang dirilis belum lama ini menyimpulkan, harga baja domestik akan mengikuti harga regional. Pasar baja Indonesia bakal diserbu produk impor yang efeknya menekan harga baja buatan lokal. World Steel Dynamic (WSD), lembaga penelitian dan investigasi khusus baja, memperkirakan prospek laba bersih perusahaan baja dunia tetap negatif hingga tahun depan. Reza menambahkan, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) membuat tekanan kepada industri baja lokal kian besar. Margin laba industri baja domestik tergerus. Tidak hanya itu, industri baja lokal juga harus menanggung beban kenaikan harga energi dan upah buruh. "Sebenarnya belum membaiknya industri baja nasional sudah dapat dirasakan sejak semester II. Hal ini akan terus berlangsung sepanjang harga baja belum mengalami perbaikan," katanya. Reza mengatakan, agar kinerjanya tidak terlalu jeblok, industri baja nasional harus meningkatkan volume penjualan dengan melakukan berbagai terobosan pemasaran, dengan mencari pelanggan-pelanggan baru. Solusinya, di antaranya dengan menggandeng pelaku di bidang konstruksi dan infrastruktur sehingga penjualan produk mereka menjadi lebih optimal meskipun hal itu sulit untuk dapat dilakukan dalam waktu dekat. "Industri baja nasional juga diharapkan mulai melakukan diversifikasi usaha. Ini agar mereka tidak mengandalkan kepada industri baja saja, tetapi juga pelabuhan, pembangkit listrik, dan sebagainya," ujarnya. (Latief/Kompas.com)
Pasar global melemah, Industri baja nasional goyah
JAKARTA. Pengamat ekonomi Reza Priambada mengatakan, industri baja nasional masih melemah. Hal tersebut terjadi akibat belum pulihnya kondisi pasar baja di luar negeri. "Harganya terus menurut sehingga ini berpengaruh terhadap pasar di dalam negeri," ujar Reza kepada Kompas.com di Jakarta, Kamis (31/10/2013). Harga baja dunia saat ini turun 8 persen menjadi 600 dolar AS per ton pada September 2013, dibanding bulan sebelumnya sebesar 605 dolar AS per ton. Analis Trust Securities itu mengatakan, harga baja masih akan tertekan, seiring kelebihan kapasitas yang sangat kronis di China sebagai negara industri baja terbesar dunia. Menurut data Middle East Steel, lembaga riset baja Timur Tengah, harga baja canai panas (hot rolled coil/HRC) yang selama ini menjadi acuan belum mampu menembus 700 dolar AS per ton. Padahal, harga tersebut merupakan harga tertinggi dalam setahun terakhir. Sebelumnya kepada Antara, Ketua Umum Ikatan Pabrik Paku dan Kawat Indonesia (Ippaki) Ario N Setiantoro menilai, kejatuhan harga baja di pasar global menekan harga baja domestik. Ini diperparah dengan derasnya arus impor produk baja hulu dan hilir. "Harga produk hilir seperti paku dan kawat cenderung turun dibanding tahun lalu. Saat ini, harga paku berkisar Rp 9.000-9.500 per kilogram (kg), sedangkan kawat Rp 7.500-9.000 per kg," ujar Ario di Jakarta, Selasa (29/10/2013) lalu. Menurut Ario, permintaan baja di pasar domestik sebenarnya masih tinggi, yang didorong oleh geliat proyek infrastruktur dan properti Tanah Air. Namun demikian, produsen baja lokal tidak bisa sepenuhnya menikmati lonjakan permintaan karena harus bersaing dengan produk impor dengan harga lebih murah, terutama dari China. Berdasarkan riset Macquarie, bank investasi yang berkantor pusat di Australia, sebanyak 86 produsen baja Tiongkok yang tergabung dalam China Iron & Steel Asscociation (CISA) membukukan kerugian sebesar 113 juta dolar AS hingga Juni tahun ini. Produsen baja merugi Bahkan, Arcelor Mittal, produsen baja terbesar dunia ini yang beroperasi di Eropa, melaporkan kerugian sebesar 1,1 miliar dolar AS selama semester I-2013. Hal ini dipicu tingkat pemanfaatan kapasitas terpasang (utilisasi) yang rendah. Mcquarie menilai, dalam 3-5 tahun ke depan, harga baja masih tertekan. Sementara itu, pasokan bahan baku utama, iron ore pellet, diprediksi tumbuh, namun masih di bawah harapan para pelaku industri baja. Di sisi lain, Macquarie Commodities Research dalam laporannya yang dirilis belum lama ini menyimpulkan, harga baja domestik akan mengikuti harga regional. Pasar baja Indonesia bakal diserbu produk impor yang efeknya menekan harga baja buatan lokal. World Steel Dynamic (WSD), lembaga penelitian dan investigasi khusus baja, memperkirakan prospek laba bersih perusahaan baja dunia tetap negatif hingga tahun depan. Reza menambahkan, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) membuat tekanan kepada industri baja lokal kian besar. Margin laba industri baja domestik tergerus. Tidak hanya itu, industri baja lokal juga harus menanggung beban kenaikan harga energi dan upah buruh. "Sebenarnya belum membaiknya industri baja nasional sudah dapat dirasakan sejak semester II. Hal ini akan terus berlangsung sepanjang harga baja belum mengalami perbaikan," katanya. Reza mengatakan, agar kinerjanya tidak terlalu jeblok, industri baja nasional harus meningkatkan volume penjualan dengan melakukan berbagai terobosan pemasaran, dengan mencari pelanggan-pelanggan baru. Solusinya, di antaranya dengan menggandeng pelaku di bidang konstruksi dan infrastruktur sehingga penjualan produk mereka menjadi lebih optimal meskipun hal itu sulit untuk dapat dilakukan dalam waktu dekat. "Industri baja nasional juga diharapkan mulai melakukan diversifikasi usaha. Ini agar mereka tidak mengandalkan kepada industri baja saja, tetapi juga pelabuhan, pembangkit listrik, dan sebagainya," ujarnya. (Latief/Kompas.com)