Pasar Keuangan Sepekan: IHSG Melaju, Pasar Surat Utang Loyo



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,38% ke level 7.235,53 pada Kamis (14/4). Walau terkoreksi di akhir pekan ini, nyatanya dalam sepekan IHSG masih berhasil menguat 1,52%.

CEO Edvisor.id Praska Putrantyo mengatakan, penguatan IHSG ditopang derasnya arus dana investor asing ke pasar saham yang mencapai Rp 3,88 triliun dalam sepekan terakhir. Hal ini sekaligus menambah akumulasi net buy asing sepanjang April 2022 mencapai Rp 9,35 triliun.

“Penguatan dari saham-saham di sektor transportasi & logistik, energi, dan perindustrian berkontribusi pada penguatan kinerja IHSG dalam sepekan. Sekaligus menjadi yang tertinggi bila dibandingkan dengan indeks-indeks saham dunia lainnya, terutama di kawasan Asia,” ujar Praska dalam keterangan tertulis, Minggu (17/4).


Apiknya kinerja saham pada akhirnya turut berdampak pada kinerja rata-rata reksadana saham yang tercermin dari Edvisor Total Equity Funds Index yang menguat 1,37% dalam sepekan kemarin.

Baca Juga: Ini Saham-Saham Dengan Net Buy Asing Lebih dari Rp 1 Triliun Sejak Awal Tahun

Sementara itu, euforia di pasar saham juga dirasakan di jenis reksadana campuran yang kinerjanya diukur menggunakan Edvisor Total Balanced Funds Index juga menguat 0,10%. Praska bilang, penguatan yang tidak terlalu besar ini karena tereksposur oleh pelemahan yang dialami di pasar surat utang yang juga menjadi alokasi investasi reksadana campuran.

Tertekannya kinerja pasar utang tercermin dari Edvisor Total Bonds Index yang melemah 0,38%. Hal ini terbawa oleh koreksi di kinerja SBN yang terlihat pada Edvisor Total Government Bonds Index yang turun -0,41% dalam sepekan terakhir. Selain itu, rata-rata kinerja obligasi korporasi via Edvisor Total Corporate Bonds Index juga melemah 0,29%.

Praska menyebut, hal itu diperberat dengan kondisi arus dana investor asing di pasar SBN yang masih cenderung keluar. Kepemilikan investor asing per 12 April 2022 menyusut Rp 6,17 triliun menjadi Rp 850,71 triliun dibanding posisi saat memasuki bulan April 2022 yang mencapai Rp 856,88 triliun.

“Pergerakan yield SBN 10 tahun yang terus naik mendekati 7% dan kondisi kurs rupiah terhadap dolar AS yang masih tertahan di Rp 14.350-an per dolar AS turut memberatkan pasar SBN. Terlebih di tengah ancaman potensi kenaikan lanjutan suku bunga The Fed di AS pasca rilis laju inflasi tahunan mencapai 8,5% per Maret 2022,” imbuhnya.

Praska menyebut, untuk pasar obligasi, alternatif berinvestasi pada SBN bertenor pendek-menengah (di bawah 10 tahun) bisa menjadi pilihan. Menurutnya, tekanan yang relatif masih besar akan terjadi pada tenor panjang seiring dengan masalah inflasi dan kenaikan suku bunga acuan.

Sedangkan untuk obligasi korporasi, ia menilai investor bisa memilih obligasi dari emiten-emiten yang sektor industrinya tidak terganggu oleh lonjakan inflasi dan potensi kenaikan suku bunga. Selain itu, pertimbangan terhadap aspek fundamental penerbit obligasi korporasi juga layak diperhatikan, seperti rating min A dan rasio-rasio solvabilitas lainnya.

Lalu untuk di pasar saham, Praska menilai investor disarankan untuk lebih selective buying pada saham-saham dari sektor yang tidak sensitif terhadap ancaman kenaikan inflasi dan suku bunga.

“Selain itu, investor masih dapat mempertimbangkan saham-saham dari sektor komoditas namun dengan pertimbangan kondisi harga saham yang belum naik banyak dan/atau valuasi industri yang masih relatif murah,” imbuh Praska.

Baca Juga: Proyeksi Analis Terhadap Pergerakan IHSG pada Perdagangan Senin (18/4)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat