JAKARTA. Nilai tukar rupiah berputar balik dari arah penguatan terhadap dollar AS. Ekonom Mandiri Institute, Destry Damayanti, menilai, ekspektasi pasar yang kelewat tinggi pun kandas setelah mereka berharap bahwa Joko Widodo-Jusuf Kalla dapat segera tancap gas dengan gerbong barunya. Hal ini terjadi setelah pembentukan kabinet mengalami banyak aksi tarik dan ulur. Destry melihat, mata uang Garuda begitu cepat balik arah, dari Rp 12.200 menuju Rp 11.900, pada saat Jokowi berhasil membuat pendekatan ke Prabowo Subianto. Menurut Destry, peristiwa itu mematahkan pandangan pasarbahwa akan terjadi deadlock antara pemerintah dan parlemen. "Ternyata Jokowi membuktikannya dengan gaya politik beliau yang humble dan low profile. Dia deketin (pihak Prabowo) dan kayaknya berhasil, itu sudah selesai dan memberikan sentimen yang positif. Tiba-tiba, sekarang pembentukan kabinet terulur-ulur kayak begini," kata Destry saat ditemui di sela-sela International Financial Inclusion Forum, Kamis (23/10).
Destry lebih lanjut menyampaikan bahwa vakumnya kabinet memberikan ketidakpastian bagi pasar. "Jadi, market juga mikir, ada apa lagi ini karena sepertinya pihak dari koalisi Pak Prabowo sudah clear," lanjut Destry. Tadinya, kata dia, pasarberharap bahwa pemerintahan Jokowi-JK bisa terbentuk secara solid dan langsung bekerja, sebagaimana jargon yang selama ini diumbar, "kerja, kerja, kerja". "Sebenarnya juga, Pak Jokowi memang 'menjanjikan banyak' bahwa kita akan langsung kerja, dari maritim, pertanian, hingga masyarakat bawah. Itu janji-janji beliau yang berulang-ulang disebutkan, dengan speech 'kabinet kerja, kerja, kerja'. Hal tersebut menandakan bahwa pemerintahan ini akan beda," kata Destry dengan nada menyayangkan. Tentunya, kata dia, janji-janji Jokowi-JK itu dilihat sebagai sesuatu yang berbeda dari pemerintahan sebelumnya. Namun jelas, cita-cita membentuk "kabinet kerja, kerja, kerja" membutuhkan orang-orang yang bukan asal-asalan dalam gerbong kabinet. "Jadi, itu ekspektasi pasar. Bahwa (soal kabinet) sekarang masih dalam proses, itu membuat market khawatir, ada apa? Dampak ke depannya bagaimana?" ucap Destry. Dipengaruhi faktor non-fundamental Destry melihat, rupiah yang kembali melemah pasca-inagurasi Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober 2014 lebih disebabkan faktor non-fundamental. Faktor fundamental perekonomian global dan domestik dinilai justru menjadi pendorong penguatan rupiah. "Tone dari AS tidak agresif lagi hokies-nya, malah mereka (market) melihatnya agak sedikit hokies," kata dia soal pengaruh AS. Hal tersebut didorong perkiraan dari naiknya suku bunga bank sentral AS yang bisa saja meleset dari prediksi awal. Sebelumnya, analis pasar memperkirakan, Fed fund rate akan naik pada kuartal pertama tahun 2015. "Sekarang beda lagi karena ada data AS yang tidak sekuat yang diperkirakan," ucap dia.