KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun 2017 akan segera berakhir. Selama periode ini pula pasar modal lokal turut mengambil andil dalam akselerasi pembangunan infrastruktur. Hal ini tercermin dari meningkatnya penerbitan emisi surat utang, khususnya penawaran umum berkelanjutan (PUB) dari sektor infrastruktur. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan hingga pekan kedua November 2017, PUB dari sektor ini mencapai Rp 17,21 triliun. Bandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya Rp 5,49 triliun. Artinya, aktivitas pencarian dana melalui instrumen surat utang di sektor tersebut melesat lebih dari 200% dibanding pekan kedua November 2016.
Pendanaan dari obligasi ini berhasil membuat beberapa proyek infrastruktur mulai berjalan. Salah satnya, ruas tol Trans Jawa sepanjang 1.000 kilometer (km) yang tengah digarap PT Waskita Karya Tbk (WSKT). Selain itu, ada ruas tol Trans Sumatra sepanjang 2.700 km yang didanai dari penerbitan surat utang PT Hutama Karya. Jika tak berubah, pembangunan infrastruktur transportasi masal seperti proyek
light rail transit (LRT) sebagian pendanaannya juga berasal dari penerbitan obligasi. Pada saat yang bersamaan, ketiganya juga ambil bagian dalam penerbitan PUB tahun ini. ADHI merilis PUB Obligasi II Tahap I pada 16 Juni 2017 lalu. Nilainya Rp 3,5 triliun. WSKT pada 28 September 2017 merilis PUB Obligasi III Tahap I senilai Rp 3 triliun. Hutama Karya juga melepas PUB 1,97 triliun Mei lalu, dan masih akan dilanjutkan lagi dengan PUB senilai Rp 3,53 triliun akhir tahun ini. Masih banyak BUMN dan swasta lain yang turut meramaikan penerbitan PUB sepanjang tahun ini. Tak bisa dipungkiri, infrastruktur memegang peranan penting dalam kemajuan perekonomian. Jalan tol misalnya. Bukan hanya soal efisiensi, tapi keberadaan jalan tol juga diharapkan menjadi stimulus untuk membuat perekonomian bahkan mulai skala mikro lebih menggeliat. Namun, sebelum mencapai pembangunan masif tersebut, perlu ada sumber dana yang bisa menjadi pilar. Alternatifnya, pasar modal. "Perannya (pasar modal) besar. Kalau untuk menuju negara maju, pasar modal harus menjadi lebih dominan," jelas Kepala Riset BNI Sekuritas Norico Gaman kepada KONTAN belum lama ini. Tak sulit mengukur peran pasar modal dalam perekonomian. Lihat Amerika Serikat (AS), Jepang, atau tetangga terdekat, Singapura. Ketiganya merupakan negara dengan perekonomian yang kuat. Kapitalisasi pasar modal ketiganya lebih besar dibanding
gross domestic product (GDP) masing-masing negara. Rasionya bahkan mencapai lebih dari 100%. Sementara, Indonesia belum mencapai level tersebut. Jika diukur dari kapitalisasi pasar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) saja rasionya baru sekitar 50%-60% GDP. "Idealnya lebih besar. Semakin besar maka semakin memegang peranan kunci dalam pertumbuhan ekonomi," kata Norico. Kebutuhan Dana Infrastruktur Butuh dana yang masif untuk mengejar pembangunan infrastruktur. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut, kebutuhan pembiayaan 37 proyek infrastruktur prioritas mencapai Rp 2.394 triliun. Dari jumlah itu, porsi APBN hanya 8,9% atau setara sekitar Rp 213 triliun. Masih ada kesenjangan pendanaan sekitar Rp 2.181 triliun yang harus dipenuhi baik oleh BUMN, BUMD dan swasta. Kesenjangan tersebut bisa dipenuhi melalui pendanaan ekuitas, obligasi dan sukuk korporasi serta produk turunan pasar modal lainnya. Jika ditotal, angka dana kelolaan investor institusi domestik hanya Rp 1.567,5 triliun. "Sehingga diperlukan reformasi untuk meningkatkan
asset size IKNB untuk menjadi
capital provider yang efektif untuk pembiayaan infrastruktur," tutur Hoesen, Kepala Ekeskutif Pengawas Pasar Modal OJK pada kesempatan sebelumnya. Atas dasar ini OJK rajin menerbitkan regulasi terkait produk turunan pasar modal. Dua di antaranya adalah, Green Bond dan Municipal Bond yang peraturannya akan terbit akhir tahun ini. OJK juga tengah membahas rancangan peraturan
perpetual bond sehingga surat utang tanpa batas waktu itu bisa diterbitkan di Indonesia. Norico Optimistis, produk turunan pasar modal seperti surat utang beserta turunannya tahun depan masih akan prospektif. Kuncinya, suku bunga acuan. Sebab, suku bunga yang naik akan mengerek bunga surat utang. Hal ini akan menjadi beban penerbit surat utang sehingga minat penerbitannya menurun. "Kalau pun naik, jangan sampai naik signifikan hingga di atas 5%," kata Norico.
Dia juga tak cemas maraknya penerbitan surat utang akan membebani emiten. Menurutnya, selama perekonomian masih tumbuh secara konsisten dan suku bunga rendah, emiten masih akan mampu membayar kewajiban. Dalam kondisi seperti itu, justru surat utang bisa membuat
cashflow emiten terjaga. Dengan surat utang, emiten cukup membayar kupon selama periode tertentu sembari menunggu ekspansinya mulai menghasilkan. Tepat pada berakhirnya tenor dan buah ekspansi yang mulai menghasilkan, emiten baru membayar pokoknya. Berbeda dengan pinjaman perbankan. Emiten wajib membayar bunga dan pokoknya sekaligus meskipun ekspansi yang dilakukan belum menghasilkan. "Selain relatif lebih murah, ini salah satu keuntungan pendanaan dari pasar modal," pungkas Norico. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati