KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Minat terhadap Surat Utang Negara (SUN) terpantau tinggi. Dari total penawaran sebesar Rp 59,05 triliun, pemerintah menyerap sebanyak Rp 23 triliun pada lelang SUN hari ini, Selasa (17/1). Research & Consulting Manager PT Infovesta Utama Nicodimus Kristiantoro mengatakan bahwa lelang SUN kali ini mencatat nilai penawaran masuk lebih tinggi dibandingkan rata-rata penawaran masuk pada lelang SUN tahun 2022 yang sebesar Rp 44 triliun. Total penawaran masuk di lelang SUN hari ini sebesar Rp 59,05 triliun juga lebih tinggi dibandingkan lelang perdana 2023. Pada lelang SUN Selasa (3/1), total penawaran masuk sebesar Rp 28,31 triliun. Dari penawaran masuk, pemerintah menyerap Rp 19,20 triliun di lelang dua pekan lalu.
"Semaraknya lelang SUN kali ini nampaknya karena tengah meredanya persepsi risiko di pasar secara jangka pendek dan investor memanfaatkan
timing bullish-nya pasar obligasi untuk menambah koleksi seri-seri Surat Berharga Negara (SBN)," ujar Nico saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (17/1).
Baca Juga: Lelang Surat Utang Negara (SUN) pada Selasa (17/1) Diserbu Investor Di tengah masih ada bayang-bayang volatilitas risiko dalam jangka pendek, seri yang paling dominan diburu yakni FR0095 dan FR0096. Menurut Nico, kedua seri tersebut merupakan seri
benchmark dengan tenor yang tidak terlalu panjang yakni tenor 5 dan 10 tahun. "Investor pada umumnya akan lebih menyasar seri-seri obligasi dengan memberikan kupon yang tetap dan tenor yang pendek," lanjut Nico. Adapun pilihan seri yang dimenangkan terbanyak adalah seri FR0095 dan FR0096 dengan imbal hasil
(yield) terpantau cukup rendah. Hal itu tercermin dari
yield rata-rata yang dimenangkan cenderung lebih dekat pada rata-rata
yield terendah yang masuk pada kedua seri tersebut. Masing-masing
yield rata-rata yang dimenangkan seri FR0095 dan FR0096 sebesar 6,47% dan 6,78%. Sementara,
yield terendah yang masuk kedua seri tersebut masing-masing sebesar 6,41% dan 6,72%. "Kondisi ini membuat pemerintah bisa optimal dalam pengeluaran
cost of fund pembayaran bunga," kata Nico.
Baca Juga: Pemerintah Serap Dana Rp 23 Triliun dalam Lelang SUN Selasa (17/1) Nico memproyeksikan, tahun ini kinerja obligasi diproyeksikan akan lebih baik dibanding tahun 2022. Dengan kata lain,
yield obligasi pemerintah akan bergerak turun. Dia tak menampik bahwa memang masih ada risiko dari ketidakpastian inflasi dan konflik geopolitik. Namun, sentimen positif akan lebih dominan tahun ini karena dua hal penting yakni kebijakan pengetatan Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan kenaikan suku bunga segera mencapai level puncaknya. Kebijakan baru berupa pengetatan DHE oleh Bank Indonesia (BI) akan mendorong masuknya aliran dana dolar AS ke Indonesia. Sehingga cadangan dolar dalam negeri akan bertambah dan bisa meningkatkan cadangan devisa serta stabilisasi nilai rupiah.
Baca Juga: Profit Taking di Pasar Saham, Dana Asing Masih Beredar di Dalam Negeri Menurut Nico, hal tersebut pada akhirnya menciptakan optimisme investor terhadap penguatan fundamental ekonomi domestik akan semakin tinggi dan menjadi momentum untuk investor mengoleksi obligasi. Sementara, kenaikan suku bunga acuan diyakini akan mencapai puncaknya pada semester pertama 2023. Dengan demikian, setelahnya suku bunga acuan akan lebih stagnan atau bisa jadi ada penurunan suku bunga acuan jika ekonomi AS semakin melambat. "Kondisi ini bisa menjadi katalis positif untuk menjaga
inflow ke pasar obligasi domestik. Seperti yang kita ketahui, ketika suku bunga acuan turun maka
yield obligasi juga akan terkerek turun," pungkas Nico. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati