KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar obligasi domestik kembali tertekan seiring dengan ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate (FFR) yang semakin agresif dan
yield US Treasury dalam tren naik karena harga minyak cenderung melonjak. Indikator risiko investasi di pasar surat utang Indonesia atau
credit default swap (CDS) untuk tenor 10 tahun di Selasa (24/4) tercatat naik 2,42% menjadi di level 172,60 atau tertinggi sejak akhir 28 Maret 2018. Seiring dengan meningkatnya level CDS, pergerakan
yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun juga cenderung bergerak naik hingga sore ini menyentuh level 6,92% atau tertinggi sejak Novemver 2017.
Sementara, indeks obligasi yang tercermin dalam Indonesia Composite Bond Index juga tercatat turun 0,66% sepekan kemarin jadi di level 244,32 per Senin (23/4). Padahal sebelumnya, indeks ICBI catatkan penguatan di pekan pertama dan kedua bulan ini. Analis Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Nicodimus Anggi Kristantoro mengatakan isu global menjadi penyebab kinerja pasar obliagsi Indonesia tertekan. Setelah konflik geopolitik yang terjadi di Suriah pada pekan lalu dan kembali memanasnya tensi perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China, tekanan bagi pasar obliagsi domestik juga datang dari rilis
begige book the Fed yang mengindikasikan ekspektasi kenaikan inflasi AS lebih cepat. "Kekhawatiran bahwa suku bunga acuan FFR akan bergerak lebih agresif jadi muncul," kata Nico, Selasa (24/4). I Made Adi Saputra Analis
Fixed Income MNC Sekuritas mengatakan pasar obligasi saat ini tertekan karena harga komoditas terutama minyak naik. Mengutip Bloomberg, harga minyak WTI kontrak Juni 2018 per Selasa (24/4) tercatat capai level tertingginya sejak Februari 2015 dan menyentuh US$ 68,92 per barel. Muncul kekhawatiran, harga minyak yang naik bisa membuat inflasi di AS meningkat yang merembet pada semakin agresifnya kenaikan suku bunga the Fed. Hal ini pun membuat
yield US Treasury bergerak kembali level tinggi di 2,96% per Selasa (24/4). Padahal, Made mengatakan pelaku pasar memproyeksikan
yield US Treasury di level 3% baru akan terjadi di akhir tahun 2018. Namun, ternyata kenaikan US Treasury sudah terjadi lebih awal dalam mendekati level 3%. "Tak heran bila pasar kini pasar berspekulasi jangan-jangan kenaikan The Fed tahun ini tidak hanya tinggal dua kali lagi, kalau mendapat tekanan kenaikan inflasi dari harga minyak tinggi seperti ini," kata Made.
Nico menambahkan tekanan pada pasar obligasi domestik juga datang dari pelemahan rupiah yang menyentuh hampir Rp 13.900 per dollar AS. "Berbagai risiko tersebut meningkatkan persepsi risiko investor terhadap kondisi pasar obligasi Indonesia dan efek dominonya, CDS meningkat, asing mencatatkan
net sell dan imbal hasil SUN juga naik," kata Nico. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, sejak 16 April-23 April 2018 investor asing di pasar obligasi pemerintah catatkan arus keluar sebanyak Rp 5,39 triliun menjadi Rp 868 triliun. Made mengatakan pelemahan rupiah semakin menambah kekhawatiran investor asing untuk berinvestasi di surat utang domestik karena risiko
currency semakin tinggi. "Jika rupiah terus melemah apalagi
break Rp 14.000 dan berlanjut ke Rp 15.000 investor asing akan
loss karena
currency," kata Made. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi