KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar komoditas energi diramal akan penuh sentimen tahun ini. Research and Development ICDX Girta Yoga menjelaskan, jika menilik ke belakang, pasar sempat dilanda kekhawatiran terhadap ketatnya pasokan terhadap komoditas energi menjelang musim dingin, khususnya batubara. Pada kuartal keempat 2022, musim dingin diproyeksi akan lebih dingin dari biasanya. Hal ini ditanggapi dengan sejumlah negara yang mengaktifkan kembali pembangkit listrik berbasis batubara, salah satunya Jerman yang membuka Kembali PLTU nya pada September 2022. Hanya saja, sentimen ketatnya supply ini meredup Ketika memasuki akhir Desember 2022, dimana proyeksi analis tidak terjadi. Suhu musim dingin yang diproyeksi lebih dingin justru malah lebih hangat.
Kondisi ini membuat permintaan batubara awalnya melonjak Kembali melandai, dan membuat permintaan batubara lebih stabil.
Baca Juga: China Longgarkan Aktivitas Ekonomi, Indonesia Tetap Waspada Girta menyebut, fokus utama pasar komoditas saat ini adalah sanksi yang dikenakan kepada Rusia, diantaranya yakni kebijakan Uni Eropa untuk mengembargo perdagangan minyak Rusia via laut. Girta menyebut, mulai 5 Februari 2023, Uni Eropa akan meningkatkan embargo terhadap produk minyak Rusia, khususnya produk turunan minyak seperti diesel dan bensin. Uni Eropa juga menyepakati adanya batasan harga terhadap minyak dan gas Rusia, yang saat ini belum ada kesepakatan harga per barelnya. “Februari akan ada dua isu panas menghantam pasar energi global,” kata Girta dalam acara commodity outlook ICDX, Rabu (25/1). Embargo ini ditanggapi oleh Rusia dengan aksi balasan, seperti meningkatkan mitra strategis dengan China. Rusia juga berencana melarang ekspor minyak dan produk turunan ke negara yang menerapkan batas harga serta berencana mengurangi produksi antara 500.000 sampai 700.000 bph di tahun ini. Dengan adanya sanksi dan sentiment ini, seharusnya menyebabkan harga minyak menjadi bullish. Namun kenyataannya, harga minyak justru adem ayem. Menurut Girta, ada tiga faktor yang menyebabkan harga minyak tidak terlalu bullish saat ini. Pertama, minyak mentah Rusia hanya dialihkan, bukan sepenuhnya hilang dari pasar. Kedua, efek pembatasan harga masih belum terlihat jelas, bahkan tidak efektif mempengaruhi pasar komoditas energi secara umum. Ketiga, ancaman pengurangan produksi minyak Rusia belum terealisasi. Di sisi lain, efek pencabutan kebijakan zero Covid-19 di China juga berdampak. Setelah negeri Panda tersebut mengakhiri kebijakan zero covid, mobilitas dan permintaan bahan bakar naik di China naik. Ini tercermin dari indeks kemacetan jalan di 15 kota besar di China yang melonjak 58,2% hanya dalam sepekan setelah pencabutan kebijakan zero covid. “Efek pencabutan zero Covid positif terhadap harga komoditas energi,” sambung Girta. Sehingga, ada sejumlah sentimen yang menjadi fokus di pasar komoditas saat ini, yakni diantaranya outlook OPEC yang menargetkan harga minyak stabil di kisaran US$ 80 sampai US$ 90 per barel tahun ini. Di sisi lain, Amerika Serikat (AS) juga masih mengalami krisis stock strategis negara. Cadangan strategis AS saat ini terpantau di level 371,58 juta barel, menjadi yang terendah sejak Desember 1983. Ditambah, China yang mulai melonggarkan izin impor batubara Australia.
Baca Juga: Harga Komoditas Logam Industri Naik di Awal 2023, Prospeknya Dihantui Ketidakpastian Proyeksi Girta, level support minyak mentah di tahun ini berada di US$ 65 sampai US$ 55 dengan level resistance di level US$ 100 sampai US$ 115 per barel. Untuk batubara, level support tahun ini berada di US$ 300 sampai US$ 275 dengan level resistance di US$ 425 sampai US$ 450 per ton. Sementara level harga gas alam tahun ini diproyeksi berada di rentang support US$ 2,50 sampai US$ 2,00 dengan level resistance US$ 4,50 sampai US$ 5,50 per mmbtu. Selain komoditas energi, komoditas minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) juga akan remain sentiment tahun ini. Research and Development ICDX Jonathan Octavianus mengatakan, sejumlah isu utama pasar CPO tahun ini di antaranya pembukaan Kembali wilayah dan ekonomi China yang memberi katalis positif terhadap permintaan, dan pada akhirnya mendorong permintaan CPO. Namun, angka Covid-19 di China saat ini dikhawatirkan melonjak akibat relaksasi kebijakan.
Kedua, kebijakan penerapan biodiesel B35 oleh pemerintah Indonesia yang berpotensi meningkatkan konsumsi minyak sawit. tahun lalu, kebutuhan CPO untuk B30 hanya 8,4 juta ton atau sekitar 16% dari proyeksi total produksi CPO yang mencapai 52 juta ton. Dengan penerapan B35, Jonathan menyebut ada potensi penambahan konsumsi 1,4, juta ton CPO. Periode ramadan juga bisa meningkatkan permintaan CPO di Indonesia dan malaysia. “Apabila terdapat sentimen positif, level resistance di MYR 4.500, jika ada sentimen negatif support di MYR 3.600 per metrik ton,” kata Jonathan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi