Pasar rempah terkendala produksi



JAKARTA. Pemerintah mulai menata kembali produksi komoditas rempah-rempah yang selama ini menjadi andalan Indonesia. Penataan ini bertujuan menyeimbangkan antara permintan dan pasokan.

Permintaan rempah, baik di pasar domestik maupun di pasar mancanegara setiap tahunnya terus tumbuh. Namun, permintaan pasar yang besar ini tak mampu dipenuhi karena pertumbuhan produksi yang lamban, dan cenderung stagnan.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kemtan), produk rempah-rempah Indonesia merupakan komoditas pertanian, yang paling diburu setelah kopi. Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kemtan Agus Wahyudi mengatakan permintaan ekspor rempah secara keseluruhan naik konsisten setiap tahun sekitar 3%-5%. "Hanya saja volume ekspor tergantung produksinya, kalau produksinya naik, maka kemungkinan besar ekspornya juga naik," tutur dia, Minggu (26/2).


Agus bilang rempah-rempah yang potensial untuk dilempar ke pasar ekspor antara lain lada, pala, cengkeh, kayu manis, dan vanili. Namun, dari komoditas tersebut, cengkeh yang pasarnya masih harus ditata ulang karena lebih dari 90% produksi terserap untuk industri rokok dalam negeri.

Sedang komoditas lainnya sudah ditebar ke pasar ekspor, meskipun volumenya tidak terlalu besar. "Hanya lada dan pala yang konsisten untuk ekspor sedangkan vanili dan kayu manis masih sangat minim," tambahnya.

Ia bilang pemerintah saat ini harus menaruh perhatian besar pada komoditas rempah karena selain permintaan yang terus naik, harganya juga relatif stabil dan cenderung naik. Agus bilang harga vanili di pasar ekspor bisa mencapai Rp 1,5 juta per kilogram (kg). Tapi harus diakui, pasokan vanili ke pasar ekspor juga sangat sedikit.

Kemtan tahun ini menganggarkan dana sekitar Rp 40 miliar sebagai dana dukungan agar petani tetap bertahan menanam rempah-rempah. Ia bilang, jika petani konsisten menanam rempah-rempah, pemerintah bisa mencarikan industri yang akan menyerap hasil produksi tersebut. Maklum, selama ini banyak petani rempah-rempah yang lebih tergoda menanam tanaman lain yang dianggap lebih menjanjikan secara ekonomi.

Harus berkelanjutan

I Ketut Budiman, Sekjen Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) mengatakan dalam beberapa tahun terakhir produksi cengkeh relatif stabil dan faktor cuaca tidak terlalu berdampak signifikan terhadap produksi. Hanya saja, ia mengatakan masalah petani cengkeh adalah soal inkonsistensi harga.

Situasi ini terjadi karena pasar utama cengkeh adalah industri rokok. Segala isyu dan gerak-gerik industri rokok bakal mempengaruhi harga jual cengkeh. Ia pun meminta pemerintah turut mencarikan pasar alternatif untuk cengkeh petani ini sehingga harganya stabil sepanjang tahun.

Tak hanya pasar alternatif, pemerintah pun diminta mulai melirik komoditas rempah lain yang masih bisa dioptimalkan dari sisi produksi dan pasarnya, seperti jahe.

Kabul Indarto, Ketua Asosiasi Petani Jahe Organik (Astajo) mengatakan jahe merupakan rempah yang cukup laku di pasar ekspor. Namun, belakangan produksi jahe dalam negeri yang melorot, serta masuknya China sebagai produsen dan eksportir jahe menjadi masalah yang harus dipecahkan pemerintah. "Harga jahe Indonesia lebih mahal di pasar ekspor, namun kualitasnya lebih baik," klaim dia.

Gamal Nasir, Ketua Dewan Rempah Indonesia menyatakan saat ini pasar ekspor yang masih sangat potensial untuk rempah-rempah adalah Eropa. Hanya saja, Eropa menginginkan rempah tersebut secara berkelanjutan.

"Masalahnya pasar tidak mau mengerti bahwa rempah-rempah adalah tanaman musiman dan petani masih melihat sulit menjual rempah dalam volume minim," ujarnya.

Gamal menyatakan agar pasokan konsisten dan berkelanjutan, pemerintah harus menyiapkan bibit unggul serta mengajarkan petani tentang kualitas rempah-rempah yang sesuai standar ekspor.

Menurut Gamal, selama ini petani rempah hanya mengetahui hasil produksinya akan diserap industri lokal, terutama makanan dan minuman dan kosmetik. Padahal, petani perlu diberikan informasi secara jelas dan kontinyu soal pasar rempah-rempah di manca negara yang potensial jika digarap maksimal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini