Pasar Saham dan Rupiah Turut Terseret Potensi Resesi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar keuangan Indonesia turut tertekan pasar global di tengah tahun ini. Perekonomian global berpotensi menghadapi resesi di tengah inflasi tinggi akibat gangguan rantai pasok, konflik Rusia-Ukraina, serta kenaikan harga komoditas.

Secara teknis, resesi ditunjukkan oleh penurunan produk domestik bruto (PDB) dalam dua kuartal berturut-turut. Pertumbuhan PDB AS di kuartal pertama tahun ini turun tipis. Secara tahunan, PDB riil AS di tiga bulan pertama turun 1,4%. Angka ini terjun ketimbang pertumbuhan PDB riil kuartal keempat 2021 yang mencapai 6,9%.

Upaya bank-bank sentral dunia untuk mengendalikan inflasi lewat kenaikan suku bunga turut menurunkan minat investasi di aset yang berisiko. Hal inilah yang menyebabkan kurs rupiah menyentuh level paling lemah sejak awal Mei 2020 atau dalam lebih dari dua tahun terakhir.


Jumat (1/7), kurs rupiah spot ditutup pada Rp 14.943 per dolar Amerika Serikat (AS) melemah 0,27% dalam sehari dan 0,63% dalam sepekan. Kurs rupiah telah melemah 4,77% sejak awal tahun.

Baca Juga: Rupiah Berpotensi Tertekan Hingga Rp 15.000 pada Perdagangan Senin (4/7)

Berikut persentase pelemahan sejumlah mata uang Asia terhadap dolar AS sejak awal tahun berdasarkan data Bloomberg:

  1. Yen -14,89%
  2. Won -8,27%
  3. Peso -7,42%
  4. Dolar Taiwan -7,09%
  5. Baht -6,66%
  6. Rupee -5,95%
  7. Ringgit -5,46%
  8. Yuan -5,15%
  9. Rupiah  -4,55%
  10. Dolar Singapura -3,41%
  11. Dolar Hong Kong -0,64%
Baca Juga: Kejatuhan Bursa AS Diprediksi Hingga Akhir Tahun

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah disebabkan oleh penguatan dolar AS terhadap mata uang utama di tengah sentimen risk off di pasar keuangan global. Hal ini sejalan dengan kekhawatiran resesi ekonomi AS.

Selain itu, data inflasi Indonesia pada bulan Juni yang dirilis Jumat (1/7) tercatat lebih tinggi dari perkiraan yakni 4,35%. Angka tersebut juga merupakan inflasi tertinggi dalam dua tahun terakhir. 

“Kenaikan inflasi domestik tersebut mendorong ekspektasi potensi kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang berimplikasi pada pelemahan IHSG dan kenaikan yield SUN,” terang Josua kepada Kontan.co.id.

Inflasi menjadi salah satu data yang diperhatikan oleh investor untuk menghitung besaran yield riil. Yield riil ini didapat dari selisih antara yield nominal dikurangi dengan besaran inflasi. Misalnya dengan menggunakan yield surat utang negara (SUN) acuan 10 tahun yang memiliki yield 7,29% dan inflasi 4,35%, maka yield riil investasi di Indonesia di kisaran 2,94%.

Jika inflasi naik, maka yield riil SUN akan berkurang. Inilah yang menyebabkan minat pada SUN berkurang dan menyebabkan harga turun sehingga yield SUN naik.

Yield SUN acuan tenor 10 tahun seri FR0091 akhir pekan lalu berada di 7,29%. Yield SUN acuan ini naik dari posisi hari sebelumnya 7,2%. Tapi, yield obligasi negara ini masih lebih rendah ketimbang 7,48%, posisi tertinggi tahun ini yang tercapai pada 20 Juni 2022. 

Harga SUN acuan tercatat turun 6,78% sejak awal tahun. Yield pun meningkat dari posisi 6,27% di akhir 2021 lalu.

Baca Juga: Kebijakan Agresif The Fed Memakan Korban, Belanja Konstruksi AS Tiba-Tiba Turun

Bank Indonesia (BI) masih berhati-hati menaikkan suku bunga acuan. Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan tetap masih ada ruang bagi BI menahan suku bunga acuan di level 3,5%. 

“Ini disebabkan oleh inflasi inti yang masih rendah sehingga ada ruang bagi fleksibilitas kami untuk tidak buru-buru menaikkan suku bunga acuan,” tegas Perry dalam rapat bersama dengan Badan Anggaran DPR RI, Jumat (1/7). 

Menurut catatan BPS, komponen inti pada bulan Juni 2022 tercatat 0,19% mom dan secara tahunan masih bergerak di 2,63% yoy. Inflasi inti memberi sumbangan sebesar 0,12% terhadap inflasi umum Juni 2022. 

Nah, sembari menahan suku bunga acuan, BI mengatakan arah kebijakan moneter BI masih akan menuju stabilitas dengan tetap menjaga pertumbuhan ekonomi. Makanya, kebijakan moneter akan berfokus dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah agar inflasi juga terkendali dan stabilitas ekonomi terjaga. 

BI tetap akan melakukan normalisasi kebijakan, tetapi dengan menggunakan kebijakan peningkatan giro wajib minimum (GWM) rupiah secara berkala, yang bahkan lebih agresif dari rencana pada awal tahun ini. Sedangkan kebijakan lain seperti makroprudensial, sistem pembayaran, dan ekonomi dan keuangan syariah diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi (pro growth). 

Baca Juga: Resesi Diprediksi Bakal Terjadi, Persiapkan Diri Seperti Warren Buffett

Lembaga pemeringkat Fitch Ratings memperkirakan BI akan mulai menaikkan suku bunga acuan pada tahun ini sebesar 50 bps. Fitch memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuan hingga 100 bps pada tahun 2023. 

“Kami memperkirakan era suku bunga rendah akan berganti, ini untuk mengurangi perbedaan suku bunga dengan bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (The Fed) dan menghindari depresiasi rupiah yang tajam,” tulis lembaga tersebut dalam laporannya, Selasa (28/6) waktu setempat. 

Nanang menyebut sentimen negatif masih membayangi rupiah. Katalis seperti kinerja bursa global yang lesu, kekhawatiran datangnya resesi yang dipicu oleh kenaikan suku bunga dan perang Ukraina-Rusia telah menekan rupiah dalam sepekan terakhir.

“Pasar akan mencoba mengerek rupiah pada psikologis area Rp 15.000, dengan asumsi penguatan dolar di tengah beberapa even penting yang terjadi di antaranya FOMC minutes dan data ketenagakerjaan AS,” kata Nanang.

Data inflasi Indonesia terbaru juga menekan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). IHSG yang merupakan indeks utama pasar saham Indonesia turun 1,70% ke 6.794,33 pada Jumat (1/7). IHSG masih tercatat menguat 3,23% sejak awal tahun tapi turun 6,62% dari level tertinggi sepanjang masa 7.276,19 yang tercatat pada 21 April 2022.

Analis Binaartha Sekuritas Ivan Rosanova mengatakan, pergerakan IHSG pekan lalu diperberat oleh tren inflasi yang menanjak di AS dan Eropa. Kondisi ini mendorong bank sentral masing-masing negara mengerek suku bunganya. Selain itu, kekhawatiran datangnya resesi juga mulai berdampak terhadap IHSG. 

"Pelemahan nilai tukar rupiah juga memperkuat dugaan dana asing pulang kampung untuk mengurangi paparan pada aset berisiko," kata Ivan kepada Kontan.co.id, Jumat (1/7). 

Ivan menyebut, sentimen global masih akan menjadi penggerak utama pasar saham Indonesia. "Investor akan mencermati data AS untuk petunjuk lebih lanjut terkait normalisasi kebijakan moneter The Fed," imbuh dia. 

Baca Juga: Harga Emas Melemah Total 3,21% Dalam Tiga Pekan

Meski pasar saham dan pasar keuangan tertekan, Adrian Joezer, Head of Equity Analyst Mandiri Sekuritas memperkirakan IHSG bisa mencapai 7.800 di akhir 2022. Potensi peningkatan IHSG ditopang oleh pertumbuhan laba bersih per saham emiten yang bisa mencapai di atas 20%.

Dia menambahkan, pemulihan pandemi Covid-19 yang semakin baik serta commodity boom yang diharapkan dapat berujung kepada peningkatan konsumsi. Peningkatan konsumsi ini bisa memicu terjadinya capex cycle dan labor rehiring pada semester kedua 2022.

"Hal yang juga penting adalah faktor ketahanan ekonomi Indonesia terhadap external risks; seperti neraca perdagangan kuat, external debt to PDB sehat, kondisi likuiditas domestik yang baik, dan juga tingkat inflasi yang masih terjaga meskipun dalam pergerakan yang naik," terang Adrian dalam riset.

Dia menyebut, volatilitas global diproyeksikan masih terus berlangsung. Namun dengan valuasi saham yang tidak terlalu mahal, pertumbuhan EPS yang tinggi, kondisi likuiditas domestik yang kuat didukung oleh neraca perdagangan yang positif, serta yield riil yang masih positif dan tinggi relatif ke negara-negara lain, membuat Indonesia lebih resilient menghadapi risiko eksternal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati