Pasca Ledakan Smelter, Pemerintah Diminta Lakukan Evaluasi Strategi Hilirisasi Nikel



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Belum lama ini terjadi ledakan smelter nikel di Morowali Sulawesi Tengah yang menyebabkan korban jiwa. Pasca ledakan tersebut, pemerintah diminta melakukan evaluasi menyeluruh smelter smelter yang ada.

Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya mengatakan, meledaknya tungku smelter di Morowali adalah salah satu bukti belum optimalnya hilirisasi. Sebab, kurangnya pengawasan atas kualitas keamanan mesin yang digunakan.

"Strategi hilirisasi nikel untuk dorong investasi batre EV perlu dievaluasi dengan perkembangan teknologi batre EV yang tidak gunakan nikel," ujar Berly kepada Kontan, Rabu (27/12).  


Selain itu, yang perlu dievaluasi adalah dampak lingkungan yang masih banyak terjadi akibat adanya hilirisasi nikel.

Baca Juga: Kemenaker Periksa Penyebab Kecelakaan Kerja di Morowali

Berly menjelaskan, berdasarkan riset yang diterbitkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar dan Trend Asia melaporkan bahwa pabrik dan smelter nikel di Kawasan Industri Bantaeng Kabupaten Bantaeng Sulawesi Selatan berdampak pada kualitas kehidupan dan lingkungan masyarakat di sekitar lokasi tersebut.

Dampak yang dirasakan masyarakat antara lain polusi udara berupa debu, asap, dan bau menyengat yang berasal dari dalam smelter. Selain itu, limbah hasil pengolahan yang masuk ke sungai membuat warna air sungai menjadi cokelat dan berbau menyegat. Hal itu yang mengganggu keberlangsungan petani rumput laut di wilayah sekitar.

“Awal tahun 2024 perlu diaudit semua existing smelter,” ucap Berly. 

Dihubungi secara terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, sejauh ini hilirisasi masih jauh dari output yang ideal. Sebagian besar olahan nikel hanya sampai pada feronikel dan npi belum menjadi baterai kendaraan listrik.

“Padahal implementasi hilirisasi diharapkan dalam bentuk ekspor produk akhir minimal baterai atau langsung menjadi mobil listrik,” ujar Bhima. 

Selain itu, masalah lain dari hilirisasi terletak pada terlambatnya pemerintah dalam melakukan evaluasi insentif fiskal. Pada saat investasi smelter meningkat tajam tidak diseleksi mana yang menghasilkan produk bernilai tambah dan mana yang hanya setengah jadi.

Baca Juga: Insiden Pabrik Smelter Telan Korban Jiwa, Pemerintah Wajib Audit Seluruh Smelter

Bahkan beberapa perusahaan smelter nikel melakukan impor bijih nikel karena pasokan nikel dalam negeri tidak memadai. Akan tetapi pemerintah terus memberi tax holiday dan tax allowance secara masif.

Masalah hilirisasi juga terlalu mengandalkan tenaga kerja asing, padahal model hilirisasi nya bukan barang jadi melainkan setengah jadi.

“Kadang kita terpana oleh teknologi impor untuk hilirisasi beserta pekerja TKA nya, padahal sudah mulai banyak perusahaan lokal yang mampu lakukan hilirisasi tanpa bergantung pada TKA secara berlebihan,” terang Bhima.  

Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet mengatakan, untuk menilai keberhasilan dari hilirisasi yang dilakukan oleh pemerintah maka ada beberapa indikator yang perlu dilihat. 

Pertama indikator ekspor untuk beberapa produk yang menjadi target hilirrisasi pemerintah seperti misalnya produk hasil pertambangan. Dalam 5 tahun terakhir jika dilihat semenjak pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mewajibkan pembangunan smelter di saat yang bersamaan. 

Setelah itu terlihat pada lonjakan dari ekspor untuk beberapa produk pertambangan. Yusuf menilai lonjakan dari ekspor produk pertambangan ini merupakan indikator langsung yang dapat melihat apakah program hilirisasi pemerintah dari sisi ekspor itu berhasil atau tidak. 

“Di luar itu, kalau kita lihat realisasi penanaman modal asing terutama untuk industri logam dasar mengalami peningkatan terutama 2 sampai 3 tahun terakhir itu belakang,” ujar Yusuf. 

Baca Juga: 18 Korban Meninggal Akibat Insiden di Smelter IMIP

Yusuf melihat peningkatan realisasi investasi untuk logam dasar ini tidak terlepas dari program hilirisasi pemerintah terutama untuk produk pertambangan nikel yang dilakukan di beberapa titik di provinsi di Indonesia. 

Tentu peningkatan investasi di logam dasar selaras dengan upaya untuk meningkatkan investasi di sektor sekunder atau di sektor manufaktur. Jika dilihat salah satu sektor yang kemudian menopang pertumbuhan investasi asing di sektor sekunder atau manufaktur adalah investasi di lingkungan pasar dan ini merupakan muara dari hilirilisasi yang dilakukan oleh pemerintah.

Meskipun mencatatkan pencapaian positif seperti yang dijelaskan di atas namun ada beberapa hal yang juga perlu diperhatikan terutama untuk proses hilinisasi yang dilakukan pemerintah. 

Misalnya jika melihat rasio industri manufaktur terhadap PDB secara umum dalam 5 tahun terakhir ini belum bergerak banyak dari kisaran angka 19 atau 20% terhadap PDB. 

“Artinya diversifikasi hasil dari Produk hilirrisasi itu belum terjadi secara masif dan masih terpusat pada beberapa sektor saja dalam hal ini misalnya sektor pertambangan saja,” ungkap Yusuf. 

Padahal, dalam sektor industri manufaktur terdapat beragam subsektor industri manufaktur yang masih bisa didorong untuk proses hilirisasi. Selain itu, investasi pada sektor pertambangan nikel itu juga masih mencatatkan beberapa pekerja rumah terutama misalnya masih terjadinya kecelakaan kerja yang terjadi di tempat di mana periodisasi nikel itu dilakukan. 

“Artinya proses dari keselamatan kerja perlu dievaluasi kembali, perlu dipertanyakan apakah sudah memenuhi prosedural standar dari keselamatan kerja,” pungkas Yusuf. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari