KONTAN.CO.ID - Pada 17 Mei 2021 kemarin, Gojek dan Tokopedia resmi bergabung di bawah payung grup GoTo. Selain merupakan akronim dari keduanya, nama tersebut juga melambangkan semangat gotong royong yang kuat untuk mendorong kemajuan bangsa. Kevin Aluwi dan William Tanuwijaya tetap menjadi
Chief Executive Officer (CEO) di perusahaan masing-masing. Sementara Andre Soelistyo dari Gojek menjadi CEO Grup GoTo, sementara Patrick Cao dari Tokopedia menjadi presidennya. Perusahaan baru ini disebut menembus nilai transaksi (
gross transaction value) sebesar Rp 310,2 triliun. Merger ini juga mengawinkan lebih dari 2 juta mitra pengemudi ojek online atau
ojol, 11 juta mitra usaha (
merchant), dan lebih dari 100 juta pengguna aktif per bulan.
Perkawinan tersebut dianggap sangat strategis karena menggabungkan platform Gojek dengan frekuensi transaksi tinggi dengan platform Tokopedia yang frekuensinya lebih rendah namun nilai transaksinya lebih tinggi. Lalu, apa bedanya dengan merger-merger perusahaan lain yang pernah terjadi sebelumnya? Kehidupan digital kita saat ini didominasi oleh pemain teknologi digital besar (
digital superpower atau
bigtech) yang mampu menelan semua kekuatan di pasar serta membentuk monopoli ekonomi. Tengok saja, saat ini sulit bagi kita untuk hidup tanpa Google, Facebook, atau bahkan mungkin tanpa Gojek dan Tokopedia. Dua kata kunci penting di balik fenomena ini adalah platform digital dan efek jejaring (
network effect). Platform digital adalah model bisnis yang menciptakan nilai (
value) dengan cara memfasilitasi pertukaran sumberdaya antara beragam kelompok yang saling interdependen. Sebuah pujasera (
food court) pada dasarnya merupakan platform yang memfasilitasi interaksi antara beragam penjual makanan dengan konsumennya. Akan tetapi, dalam konteks platform digital, kelompok-kelompok yang berinteraksi di dalamnya secara teori menjadi tidak terbatas lagi ruang dan waktu. Sebagai contoh, Tokopedia adalah platform digital berbentuk pasar (
marketplace) yang menghubungkan antara pedagang dan pembeli. Gojek juga merupakan platform digital yang mempertemukan antara pengemudi ojek dan penumpang. Hal ini berbeda dengan kebanyakan pujasera yang umumnya hanya bisa dinikmati oleh kelompok produsen dan konsumen yang tinggal tidak jauh dari lokasi tersebut. Sementara itu, efek jejaring terjadi ketika suatu produk atau jasa mendapatkan nilai tambah seiring dengan bertumbuhnya jumlah pengguna produk/jasa tersebut. Semakin luas jejaring produsen dan konsumen, maka peluang terciptanya transaksi (
matching) akan semakin tinggi. Selain itu, data dan informasi turunan yang dihasilkan dari aktivitas tersebut juga akan semakin besar. Sebagai contoh, satu orang pengguna aplikasi WhatsApp tidak memberi manfaat apapun. Akan tetapi, sejuta pengguna WhatsApp akan membuat nilai dari aplikasi tersebut semakin berharga. Segelintir orang yang menggunakan iPhone tidak akan berdampak besar. Akan tetapi, ketika berbagai pengembang (
developer) aplikasi digital dan produsen produk komplementer berbondong-bondong bergabung dalam ekosistem Apple, ceritanya menjadi sangat berbeda lagi.
Kemampuan mengontrol Tentu saja platform digital yang memanfaatkan efek jejaring, seperti Gojek dan Tokopedia, memiliki resep bisnis yang berbeda dibandingkan dengan model bisnis tradisional. Misalnya, dalam ranah bisnis konvensional, konsep rantai nilai (
value chain) menggarap berbagai aktivitas yang berurutan, dan dengan konsumen berada di ujung akhirnya. Tapi dalam bisnis platform digital ini, optimalisasi setiap rantai nilai dilakukan secara iteratif. Inilah mengapa kultur
move fast and break things yang menjadi slogan dari
Facebook menjadi sangat populer. Selain itu, dalam konteks Five Forces milik Michael Porter, cara pandang kita terhadap daya saing suatu perusahaan umumnya cenderung melemahkan pemasok dan agar perusahaan dapat memiliki kekuatan tawar yang lebih kuat. Akan tetapi, dalam bisnis ini, platform digital cenderung menginginkan para pemasok-pemasok terbaik untuk bergabung agar ekosistem mereka semakin tumbuh dan berkembang. Dampaknya mudah diprediksi:
Pertama, pengaruh disruptif dalam suatu industri akan semakin lazim terdengar; dan
kedua, konsentrasi kekuatan pada satu pemain besar juga merupakan suatu keniscayaan. Dua hal tersebut akan memberikan momentum kepada platform digital untuk membangun kekuatan monopoli yang lebih besar lagi. Merger antar jaringan supermarket nasional atau merger restoran waralaba besar mungkin tidak lantas mematikan toko kelontong atau warung nasi padang di depan kompleks. Namun efek mergernya Gojek dan Tokopedia bisa bercerita lain. Selama pandemi, perekonomian kita secara umum mengalami perlambatan dan pembatasan yang cukup signifikan. Akan tetapi, sektor digital justru menunjukkan pemaksaan percepatan digital (
forced digitalization) yang begitu kentara. Covid-19 membuat kita bekerja dan belajar dari rumah (
work/school from home) dengan piranti digital, mengandalkan platform digital untuk membelikan kita penganan (
food delivery), berbelanja secara daring (
online shopping), hingga melakukan pembayaran secara nontunai (
digital payment). Bagi banyak industri, pandemi jelas membuat trauma yang tidak menyenangkan (
negative shock), namun bagi industri digital, pandemi justru bisa membawa kejutan positif (
positive shock). Tak heran apabila mereka justru mempercepat akuisisi dan menggelontorkan lebih banyak investasi. Hal ini perlu diwaspadai karena mereka menguasai infrastruktur digital seperti data, informasi, algoritma, dan konektivitas. Tanpa bermaksud mengguyur hujan di tengah pawai yang meriah, kita tentu menginginkan akselerasi proses digitisasi yang terarah--bagaimana transformasi digital dapat mencapai keadilan sosial (
social justice) dan keberlanjutan lingkungan (
environmental sustainability). Kita tentu tidak menginginkan digitisasi yang masif justru menciptakan ketidaksetaraan ekonomi (
economic inequalities), polarisasi dan perpecahan (
fractures) di kalangan masyarakat, serta konsentrasi kekuatan maupun kekayaan di titik tertentu saja. Pemerintah mungkin telah banyak memfasilitasi terciptanya ekosistem digital yang kompetitif. Namun negara tetap harus memiliki supremasi digital (
digital supremacy) dan kemandirian teknologinya (
technological sovereignty) sendiri.
Negara harus berperan lebih aktif melalui
intervensi-intervensi strategis dalam membentuk kebijakan industri (
shaping industrial policy) agar arah digitisasi tidak dimonopoli oleh kalangan industri. Jangan sampai platform-platform yang telah dibina, pada akhirnya, justru menjadi
too big to control, dan negara kewalahan menghadapinya. Penulis : Nofie Iman Dosen Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti