Pasca Pandemi Covid-19, Industri Penerbangan Domestik Masih Dihantui Tantangan Ini



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (APJAPI) menjabarkan tantangan yang dihadapi oleh industri penerbangan domestik saat ini. 

Ketua APJAPI Alvin Lie menuturkan salah satu tantangan yang dihadapi adalah jumlah pesawat yang dioperasikan oleh maskapai penerbangan di Indonesia belum mencapai level pra-pandemi. 

"Industri penerbangan berhasil survive pandemi, namun saat ini berdiri sambil menahan sakit. Jumlah pesawat maskapai yang dioperasikan di Indonesia sebelum pandemi COVID-19 mencapai 600 unit. Namun ketika Pandemi melanda menyusut menjadi sekitar 300 unit," tuturnya dalam acara Seminar Hari Penerbangan Nasional di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Jumat (27/10). 


Ia melanjutkan, saat ini jumlah pesawat sudah mulai bertumbuh namun yang statusnya layak diterbangkan mencapai hanya 419 unit. Jumlah ini, masih di bawah level pra-pandemi di angka 600 unit. 

Baca Juga: Diminta Revisi Tarif Batas Atas Angkutan Udara, Ini Tanggapan Kementerian Perhubungan

Ia melanjutkan, menurunnya suplai pesawat ini berkorelasi dengan kelangkaan suku cadang dan tingginya biaya serta panjangnya antrian layanan perawatan Maintenance Repair Overhaul (MRO). 

Alvin mengatakan bahwa pembuatan suku cadang ini juga tidak bisa serta merta meningkatkan kapasitas produksinya dan perusahaan-perusahaan penyedia MRO tidak dapat langsung meningkatkan kapasitasnya.

"Tantangan lainnya, adalah nilai tukar rupiah yang kian melemah dan mendekati 16.000 per dolar AS. Hal ini menjadi hambatan karena biaya operasional maskapai penerbangan di Indonesia tak lepas dari nilai tukar rupiah," imbuh dia.

Melemahnya nilai tukar Rupiah ini terasa berat karena biaya sewa pesawat, harga komponen dan suku cadang serta asuransi pesawat semuanya dalam valuta asing. Ia mengatakan, bahwa sekitar 66% biaya operasi pesawat diserap oleh unsur Avtur 936%), Pemeliharaan (16%) dan Sewa Pesawat serta Penyusutan (14%).

Ia menilai, kondisi keuangan maskapai penerbangan yang masih lemah akibat pandemi, secara langsung mengalami penyusutan pula. Kondisi menjadi semakin berat karena maskapai penerbangan nasional tidak dapat menaikkan harga tiketnya, walau kondisi keuangan sangat mendesak.

Baca Juga: Kejar Target Kinerja, GMFI Pasang Tarif Kompetitif

Harga tiket penerbangan saat ini sudah berlaku sejak 15 Mei 2019 saat diterbitkannya Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM 106 tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas (TBA) penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri. Kondisi saat itu, nilai tukar Rupiah adalah Rp14,520 per dollar dan harga avtur di bandara Soekarno-Hatta Rp 9.243,14 per liter.

Perlu diketahui bahwa harga avtur di bandara Soekarno—Hatta adalah yang terendah di Indonesia karena unsur volume konsumsi serta biaya logistik. Dibandingkan dengan kondisi saat ini di mana nilai tukar Rupiah telah mencapai Rp 15.900 per dollar  dan harga avtur di bandara Soekarno-Hatta Rp 15.003,24 per liter. 

"Jika kondisi ini terus berlanjut, maskapai-maskapai penerbangan mungkin akan memilih untuk mengurangi pelayanan rute yang marjinal atau kurang menguntungkan dan fokus melayani rute yang menguntungkan saja serta rute internasional yang tarif tiketnya tidak diatur oleh pemerintah. Jika ini terjadi, tentunya masyarakat di kota-kota menengah dan kecil akan kehilangan sebagian pelayanan penerbangan," tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .