Pasca Penangkapan Hakim Agung, Momentum Bagi MA Melakukan Bersih-Bersih ke Dalam



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Hakim Agung Haswandi menyebut di penghujung tahun 2022 Lembaga Peradilan Tertinggi di Indonesia, Mahkamah Agung (MA) diguncang Prahara karena ditangkap dan ditahannya Oknum Hakim Agung, Panitera Pengganti dan Staf/PNS pada Mahkamah Agung oleh KPK dengan dugaan terjadinya Kolusi dan Korupsi.

Haswandi mengungkapkan, kejadian tersebut merupakan momentum bagi MA untuk bersih-bersih ke dalam. Perlu Tindakan korektif supaya kejadian tersebut tidak terulang kembali karena Mahkamah Agung sebagai Lembaga peradilan tertinggi merupakan tumpuan dan harapan masyarakat untuk melahirkan keadilan. 

"Hal tersebut sekaligus untuk menjawab pertanyaan Masihkah Hakim Menjadi Wakil Tuhan Di Dunia," kata Haswandi dalam keterangannya, Sabtu (24/2).


Menurutnya, ditangkap dan ditahannya dua orang Hakim Agung, tiga orang Panitera Pengganti dan lima orang pegawai Mahkamah Agung telah menyebabkan penurunan kepercayaan publik kepada MA.

Baca Juga: KPK Operasi Tangkap Tangan Hakim Agung Terkait Suap dan Pungli Perkara di MA

Indikasi penurunan tersebut tampak dari Survei Penilaian Integritas yang dilakukan KPK. Pada tahun 2021 MA mendapat skor 82,72 sedangkan pada tahun 2022 skor tersebut menurun menjadi 74,61. 

Walaupun Indeks Integritas MA tersebut masih di atas Indeks Integritas Nasional dengan nilai 72 dibandingkan dengan Indeks Integritas Nasional yang berada pada skor 71,5 (26/11), Indeks Integritas tersebut menempatkan MA dalam urutan pertama dan paling dipercaya publik namun sebagai tempat berkumpulnya para pengadil dengan harapan yang besar seharusnya MA benar-benar dapat menciptakan keadilan yang didambakan masyarakat.

Haswandi menyebut melakukan langkah strategis untuk mengembalikan kepercayaan publik. Yakni, dengan merotasi dan memutasikan staf/pegawai MA serta Panitera Pengganti yang telah lama bertugas di MA guna mencegah siklus dan jejaring pengurusan perkara. 

Membentuk Tim Satuan Tugas Khusus (satgassus) dari Badan Pengawas MA yang mengawasi pintu keluar masuk halaman dan Gedung MA, berkeliling ke berbagai ruangan untuk memantau para hakim, staf dan pegawai MA yang berkeliaran dan surat izin keluar kantor bagi yang ada keperluan.

Baca Juga: Djoko Tjandra ditangkap, ini kronologis lengkap skandal cessie Bank Bali

"Mengembangkan aplikasi penunjukan perkara dengan menggunakan kecerdasan buatan (Robotik) guna menghilangkan potensi dugaan dari pihak berperkara adanya pengaturan majelis hakim dalam menangani perkara," ungkapnya.

Haswandi mengakui, keadilan merupakan hak dasar manusia yang harus dipertahankan dan merupakan kebutuhan masyarakat sepanjang masa. Tujuan utama penegakan hukum adalah Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan.

Namun, dalam proses penegakan hukum dan penerapan hukum banyak kemungkinan terjadi Turbulensi dan distorsi. Penyebabnya bisa karena peraturan perundang-undangan, sistem hukum, struktur hukum, budaya hukum, aparat penegak hukum atau oleh masyarakat sendiri.

Menurutnya, dalam menciptakan rasa keadilan masyarakat maka hakim dan mengadili dan memutus suatu perkara tidak saja memperhatikan dasar peraturan perundang-undangan. Tetapi juga harus memperhatikan etika dan moral, dasar-dasar filosofi, dasar sosiologi maupun dari sisi historisnya sehingga akan diperoleh keadilan yang paripurna (total justice) yang sejalan dengan rasa keadilan masyarakat.

Menurutnya, MA Memiliki kewenangan membatalkan Putusan Pengadilan bawahan karena sejumlah alasan. Yakni, Hakim tidak berwenang atau melampaui kewenangannya.

Baca Juga: RUU KUP mulai dibahas DPR, inilah pokok-pokok penting di rezim baru perpajakan

Hakim salah dalam menerapkan hukum atau melanggar hukum yang berlaku; Lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang mengancam kelalaian tersebut dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Menurutnya, putusan yang baik adalah putusan hakim yang dapat menyelesaikan dan mengakhiri suatu perkara atau sengketa para pihak dan jangan sampai putusan tersebut justru menimbulkan atau melahirkan perkara baru.

Putusan yang baik tersebut harus dibangun dari konstruksi berpikir yang  baik pula yang bersumber dari fakta-fakta dan pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan, yurisprudensi, dokrin dan hukum yang hidup di tengah masyarakat.

Putusan yang baik tersebut juga harus memperhatikan rasa keadilan masyarakat (social justice), rasa keadilan menurut undang-undang (legal justice) dan rasa keadilan berdasarkan moral dan etika (moral justice) sehingga dapat mewujudkan keadilan yang paripurna (total justice).

Haswandi juga menekankan, terhadap perkara–perkara yang Putusannya berdimensi suap secara yuridis tetap sah sepanjang Putusan perkara tersebut memenuhi syarat-syarat sahnya suatu Putusan seperti mempunyai irah–irah  “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli